Energi
Baru dan Terbarukan (EBT) terus
dikembangkan dan dioptimalkan, dengan mengubah pola fikir (mind-set) bahwa EBT bukan sekedar
sebagai energi altenatif dari BB fosil tetapi harus menjadi penyangga
pasokan energi nasional dengan porsi
EBT >17% pada
tahun 2025 (Lampiran II Keppres no.5/2006 tentang Kebijakan Energi nasional)
berupa biofuel >5%, panas bumi >5%, EBT lainnya >5%, dan batubara cair
>2%, sementara energi lainnya masih tetap dipasok oleh minyak bumi <20%,
Gas bumi >30% dan Batubara >33%. Pemerintah berkomitmen mencapai visi 25/25,
yaitu pemanfaatan EBT 25%
pada tahun 2025. Bulan Januari 2012, Sekjen
PBB mendorong pemanfaatan energi terbarukan dunia duakali
lipat (dari 15% hingga 30%) hingga tahun
2030, apalagi negara berkembang saat ini menguasai setidaknya 50% kapasitas
global EBT.
Program-program
untuk mencapai target hingga 25% EBT adalah listrik pedesaan, interkoneksi
pembangkit EBT, pengembangan biogas, Desa Mandiri Energi (DME), Integrated
Microhydro Development Program (IMIDAP), PLTS perkotaan, pengembangan
biofuel, dan proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II berbasis
EBT (panas bumi dan hidro). Untuk mencapai itu, Indonesia membutuhkan dana Rp.134,6triliun
(US$15,7miliar) guna mengembangkan sumber-sumber EBT untuk 15 tahun mendatang.
Dana tersebut (dalam master plan 2011-2015) akan dibagikan ke 5 daerah, Sumatra
(Rp
25,06 triliun), Jawa (Rp.86,3 triliun), Sulawesi (Rp.15,77 triliun),
Bali-Nusa Tenggara (Rp.2,64 triliun), dan Papua-Maluku Rp.4,83 triliun).
Program 10 GW tahap II itu (dari total 10,047 MW), sekitar 66%-nya
dari ET, PLTP 4,9 GW dan PLTA 1,753 MW yan merupakan proyek PLN dan IPP.
Pemerintah
mendukung inovasi pemanfaatan PLTS, misalnya untuk penerangan jalan, dan
mendorong pula pemasangan panel surya di atap-atap pusat pertokoan dan mal agar
mendapatkan pasokan listrik sendiri.
Upaya
penganekaragaman (diversifikasi) sumber energi lainnya selain minyak bumi terus
dilakukan, di antaranya pemanfaatan gas, batubara, EBT (air/mikrohidro, panas
bumi, biomassa, surya, angin, gelombang/arus laut, BB Nabati, nuklir, batu bara
tercairkan/liquefied coal, batubara tergaskan/gasified coal, dan gas
hidrat). UU no.30
tahun 2007 mengklasifikasikan bahwa energi baru (EB) terdiri
atas nuklir, hidrogen, gas metana batubara
(CBM, Coal Bed Methane), batu bara tercairkan (liquified coal),
dan batu bara tergaskan (gasified coal). Sementara, energi terbarukan (ET)
terdiri atas panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari/surya,
aliran dan terjunan air, dan gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.
Tahun
2011, Pemerintah mengembangkan 35 Desa Mandiri Energi (DME)
berbasis non BBN, yaitu PLTMH 10 lokasi (5 di Sumatera, 2 di Jawa, 3 di
Kalimantan 4 di Sulawesi, 2 di Nusa tenggara, 1 di Maluku dan Papua), arus laut
1 lokasi, Hibrid 1 lokasi, peralatan produksi (sisa energi listrik dari EBT) 10
lokasi.
Tahun
2010, Desa Mandiri Energi (DME)
sudah dikembangkan di 15 wilayah di Indonesia, 9 di luar P. Jawa dan 6 di
P. jawa. Th 2009, program DME mencapai 633 desa, dengan rincian Tenaga Air 244
desa, BB Nabati 237 desa, Tenaga Surya 125 desa, Biogas 14 desa, Tenaga Angin
12 desa, Biomassa 1 desa.
Di
lain fihak, PT Pertamina
(Persero) berkomitmen mengembangkan 5 jenis EBT, yaitu geothermal (panas bumi),
Coal Bed Methane (CBM), Shale Gas, Alga, dan Angin (Bayu).
Beberapa
pengusaha asing mulai tertarik untuk berpartisipasi dalam pengembangan EBT di
Indonesia, misalnya Australia
yang berpengalaman di bidang infrastruktur energi di bidang panas bumi, solar,
alga, mikrohidro, biomassa untuk pembangkit listrik tertarik untuk
mengembangkan EBT di Indonesia. Austria menawarkan
kerjasama membangun PLTA di Indonesia. Jerman, Perancis
(tanam US$10miliar), Amerika
Serikat, dan Selandia
Baru ingin bekerjasama di bidang panas bumi (geothermal). Selandia Baru
telah meneken kerjasama dengan RI (April 2012) guna membangun PLTP
4 GW th 2015. Chevron
Co. (produsen gas terbesar kedua th 2011 sesudah ExxonMobil
Indonesia) juga tertarik berinvestasi di bidang panas bumi dan energi laut
dalam. Turki tertarik
pula untuk mengembangkan energi geothermal di wilayah Palembang, Sumatera
Selatan, dan Argo Puro, Jawa Timur. Di sisi lain, Amerika
Serikat yang diwakili oleh Exxon dan General Electric akan
membantu di sektor efisiensi energi, salah satunya adalah mengembangkan turbin
dan Pembangkit Listrik skala kecil berbasis EBT yang akan dikembangkan di
pulau-pulau terluar dan di daerah nelayan. Kanada
(Biotermika Technology) tertarik menginvestasikan dananya di bidang
sampah kota di kota-kota besar Indonesia, seperti di Bandung, Surabaya, dan
Jakarta guna membangun pembangkit listrik dari sampah. Selain itu, Kanada juga
tertarik di bidang PLTU (Brookfield Power and Utilities), PLTMH (Esensi
Lavalin), dan PLTS (Expert Development of Canada, dan Senjaya Surya
Pro). Sementara, Singapura
tertarik mendirikan industri pupuk dari sampah TPA di Desa Ngembalrejo, Kec.
Bae, Kudus, sedangkan Jepang
dan Korea Selatan tertarik mendirikan industri pupuk dan pengolahan limbah
plastik menjadi bahan bakar / solar / premium dari sampah kota di TPA
Palembang, Sumsel. Brunei
Darussalam tertarik untuk mengembangkan industri pengolahan sorghum untuk
bahan makanan dan bioethanol di Soloraya.
China dan Korea
Selatan tertarik untuk mengembangkan PLTA. Finlandia
mengajukan kerjasama dengan menghibahkan 4 juta Euro di bidang PLT biomassa di
Prop. Kalteng dan Riau, dan Korea Selatan juga
bekerjasama di bidang PLT biomassa di Gorontalo. Jepang
(NEDO) tertarik membangun pabrik bioethanol dari tetes di Mojokerto, Jatim.
Rusia dan
Australia tertarik mengembangkan PLT biomassa (jerami+sekam padi) di Sergai,
Sumut, sedangkan China
tertarik menggunakan limbah cangkang kelapa sawit.
Rusia juga tertarik mengembangkan EBT lainnya termasuk nuklir &
batubara. Estonia
tertarik mengembangkan pasir minyak dan biomassa.
Denmark mendukung program efisiensi dan konservasi energi di Indonesia
dengan memberikan dana US$10juta untuk program 4 tahun.
Indonesia memberlakukan
regulasi dengan memberikan insentif
pajak kepada perusahaan pengembang EBT dengan tetap melibatkan fihak lokal
terutama pembangunan pembangkit berkapasitas di bawah 10 MW. Sistem feed-in-tariff ,
kebijakan fiskal, insentif pada pendanaan, insentif dukungan pasar, dan
memberikan kemudahan perizinan, diterapkan guna mendorong
implementasi EBT secara komersial dan peningkatan akses kepada masyarakat.
Di sisi lain, Bank Indonesia membentuk green
banking guna memberikan insentif kepada bank yang mau mendanai
pengembangan EBT.
Keragaman
sumber EBT di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:
AIR
(PLTA)
Di
seluruh Indonesia, potensi PLTA skala besar dan kecil sekitar 75.670 MW (75,7
GW), tetapi hanya dimanfaatkan 5.940,04 MW
atau 7,92% saja (PLTA 5.711,29 MW, PLTMH 228,75 MW) dan Dirjen EBTKE
menargetkan 9.700
MW pada tahun 2015. PLTA skala besar dan kecil yang sudah beroperasi sekitar
1.941 MW, tersebar di 10 lokasi, di antaranya adalah
Sumatera
Utara: Asahan-1 (180/2x90
MW), Sigura-gura /
Asahan-2 (286 / 4x71,5 MW), Tangga
(223 / 4x55,75 MW), Lau
Renun (82/2x41 MW), Sipansihaporas
(50/33+17 MW), Sumatera Barat: Maninjau
(68/4x17 MW), Singkarak (175/4x43,75 MW), Batang Agam (3x3,5 MW); Bengkulu:
Tes (16/4x4 MW), Musi (210/3x70 MW); Riau:
Koto Panjang (114/3x38 MW), Talang Lembu (2x16 MW); Lampung: Way
Besai (92,8/2x46,4 MW), Batutegi (28/2x14 MW); Jawa Barat:
Ubrug/Cibadak (27,9/2x10,8+6,3 MW) (saat ini mati, bendungan jebol), Bengkok
(10,15/3x3,15+0,7 MW), Cikalong (19,2/3x3,64 MW), Cirata (1000 / 8X126 MW),
Saguling (700/4x178 MW), Jatiluhur (187 MW); Lamajan (19,2/3x6,4 MW), Parakan
Kondang (9,92/4x2,48 MW); Jawa Tengah: Sudirman (Mrica) (3x61,5
MW), Jelok
(4x5 MW), Timo (3x4 MW), Wonogiri (2x6 MW), Garung (2x6 MW), Sempor (1x1 MW),
Ketenger-1dan 2 (2x3,5 MW), Ketenger-3 (1x1 MW), Wadaslintang (2x9 MW), Kedung
Ombo (1x22,5 MW), Klambu 1x1,17 MW), Pejengkolan (1x1,4 MW), Sidorejo (1x1,4
MW), Gajah Mungkur (12,4 MW), Jawa Timur: UP Brantas (281 MW): terdiri
atas 12 unit PLTA, yaitu [Sengguruh (29/2x14,5 MW), Mendalan (23,2/4x5,8 MW),
Siman (10,8/3x3,6 MW), Selorejo (1x4,48 MW), Giringan (3,2 /
2x1,35+1x0,5 MW), Golang
(2,7 MW), Ngebel (2,2 MW), Wlingi (54/2x27 MW), Lodoyo (1x4,5 MW), Tulung Agung
(2x23 MW), Wonorejo
(6,3 MW), Karangkates/Sutami
(105/3x35 MW)], Tulis (2x7 MW); Kalimantan Selatan:
Riam kanan (30/3x10 MW); Sulawesi Utara: Tonsea Lama (14,38 /
1x4,44 + 1x4,5 + 1x5,44 MW), Tanggari-1 (1x17,2 MW), Tanggari-2 (1x19
MW); Sulawesi Selatan: Balambano (140/2x70 MW), Larona (195/3x65
MW), Karebbe (140/2x70 MW), Bakaru (126/2x63 MW); Sulawesi Tengah:
Sulewana-Poso I (160/4x40 MW), Sulewana-Poso II (180/3x60 MW), Sulewana-Poso
III (400/5x80 MW).
PLTA
sedang dibangun: Genyem
(19 MW) Jayapura, Papua, hasil perjanjian jual beli (US$4,3 juta) penurunan
emisi karbon CER (Certified Emission Reduction); Angkup (88 MW) dan
Peusangan-1 dan 2 (2x22 dan 2x22 MW) Aceh Tengah; Asahan-3 (2x87 MW) Sumut.
PT
Bukaka Group membangun PLTA Malea
15 MW, (Rp. 300 miliar) Kec. Makale Selatan, Tana Toraja, dan beroperasi
Agustus 2011. Bukaka akan menambah daya hingga sekitar 90
MW dengan masa kontrak 4 tahun dan dana Rp. 3 triliun.
PLTA
berencana dibangun: PLTA di Papua (2000 MW), Sumatera Utara
(763 MW), Lombok 2 lokasi (Muntur 2,8 MW, Kokok Putih 4,2 MW, Pekatan 5,3 MW),
dan Sumbawa (Brang Rhee 16 MW, Bintang bano 40 MW, Brang Beh 103,5 MW).
Pemprov
Papua membangun proyek PLTA Kapiraya
(yang pertama di Papua, dari sungai Urumuka atau Sungai Yawei yang bersumber
dari danau Paniai) dengan kapasitas 300-350 MW di distrik Mimika Barat
Tengah yang diharapkan PT Freeport menjadi pembeli utama listrik Kapiraya,
sedangkan sisanya memenuhi kebutuhan listrik lebih dari lima kabupaten, yaitu
Mimika, Paniai, Deai, Dogiyai hingga Nabire. Proyek tsb akan selesai 3-4 tahun
dengan anggaran mencapai Rp 14 triliun.
Program
ke depan (proyek percepatan 10.000 MW tahap II) : PLTA Upper
Cisokan 4 x 260 MW 150 km Tenggara Jakarta (sungai Citarum) diharapkan akan
beroperasi 2016 dengan investasi US$800 juta dari Bank Dunia. PLN membantu
biaya pendamping sekitar US$160juta. PLTA ini menggunakan sistem pumped
storage pertama di Indonesia. Selain itu, PLTA Kalikonto Jawa Timur
juga diharapkan beroperasi th 2014.
Proyek
Rp.2,3 triliun untuk PLTA Asahan
3 mulai dibangun untuk memenuhi kekurangan pasokan listrik di Sumatra
Utara, dan diharapkan 2014 sudah terpasang secara komersial.
PT
TEI
(Topnich Energy Indonesia, asal China) berusaha patungan dengan PT
Sulawesi Hydro Power (asal Norwegia) akan membangun PLTA
Enrekang 200 MW dengan nilai investasi Rp.5 triliun yang akan dimulai Juni
2011. PT Sulawesi Hydro Power juga akan mengoperasikan PLTA Tangka Manipi 10 MW
dengan nilai investasi Rp.280 miliar untuk memenuhi kebutuhan listrik di
Kabupaten Gowa dan Sinjai.
Daecheong
Construction Co Ltd. menggandeng
Perusahaan Daerah (BUMD) untuk membangun PLTA
Deli Serdang 16 MW di Deli Serdang, Sumut yang memanfaatkan
sungai Lau Simeme, dan akan beroperasi pada 2013 dengan dana investasi
US$150juta dari Korea Selatan.
PLD
dan Konsorsium (Kepco) Daewoo membangun PLTA
Wampu 60 MW di sekitar Danau Toba, Sumut, dengan dana investasi
Rp.2,5 triliun, dan menggunakan skema IPP (Independent Power Producer).
Selain itu, PLN juga akan membangun PLTA
Peusangan 89 MW (Peusangan-1 2x22,5 MW, dan Peusangan-2 2x22,5
MW), Takengon, Aceh, yang akan dikerjakan oleh Hyundai bersama dengan
PTPP (PT Pembangunan Perumahan Tbk) dengan nilai investasi Rp.3 triliun yang
berasal dari pinjaman JICA Rp.2,6 triliun yang diharapkan akan selesai pada
tahun 2015.
PLTA
Karebbe INCO 90 MW beroperasi tahun 2011. INCO sudah mengoperasikan 2 PLTA
dengan kapasitas total 275 MW. Bila Karebbe beroperasi, kapasitas total PLTA
INCO mencapai 365 MW.
Investor China (PT
CMH / China Mikro Hidro) membangun 2 unit bendungan di lokasi PLTA di Desa
Karama, Kec. Kalumpang, Kab. Mamuju, Sulawesi Barat, dengan kapasitas
total sekitar 1.800 MW dan biaya sekitar US$4,5 miliar (Rp.
7 triliun) selama 3 tahun. Sementara, sungai Karama yang melewati Kec.
Bonehau memberikan kontribusi PLTA berkapasitas 600
MW dan relokasi 9000 warga Bonehau tak terhindarkan.
PPA
antara PT PLN dengan PT Rajamandala
Electric Power (PT REP) (US$115 juta, full Turnkey, BOOT) dilakukan
untuk membeli listrik 47 MW sebesar US$8.66 sen/kWh, selama 30 tahun yang akan
beroperasi pada tahun 2016, di sungai Citarum, Kec. Haurwangi, Cianjur, Jabar.
Bendungan
untuk tandon air dan irigasi: Pandan
Dure Swangi 340 Ha (Rp.728
miliar), Kab. Lombok Timur, NTB dengan sumber air dari sungai Palung.
PLTMH
(Mini Hidro <1000 kW, Mikro Hidro <100 kW, Piko Hidro <1 kW)
Potensi:
230.910 MW (231
GW) (th 2006). Tahun 2007, kapasitas terpasang masih 60 MW.
Di antaranya: PLTMH Lebak
Picung (10 kW, 52 KK), Susuan Karang Asem (Bali) (25 kW), Kampung Sawah (6
kW, 40KK), Bojong Cisono (6 kW, 70 KK), Cibadak (6 kW, 266 KK), Cisuren (12 kW,
120 KK), Ciawi (6 kW, 180 KK), Luewi Gajah (6 kW, 70KK), Parakan Darai (10 kW,
54 KK), Sungai Code, Yogya.
Pemanfaatan
PLTMH dapat menghemat BBM dan CER sangat besar. PT Indonesia
Power meyakinkan, bahwa Produksi listrik PLTMH Cileunca
berkapasitas 1 (2x0,5) MW (menelan biaya Rp.13 milyar), desa
Warnasari, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, dapat menghemat Rp. 10 milyar
setahun. Bila seluruh PLTMH dapat mencapai kapasitas 500
MW, penghematan biaya sekitar Rp.4,27 triliun dan keuntungan dari CER US$ 6
juta, serta ada pemasukan kas desa (PADES, Pendapatan Asli Desa) Rp.2 triliun
per tahun. Sistem Off-Grid disarankan untuk digunakan di desa,
yaitu sistem pemeliharaan alat/jaringan listrik dan tagihan listrik dikelola
oleh masyarakat / koperasi desa sendiri, agar kemandirian dan pertumbuhan desa
dapat terwujud.
PTPSE
(Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi) BPPT berhasil mendaftarkan
rintisan CDM (Clean Development Management) PLTMH dari UNFCCC (United
Nations Framework Convention on Climate Change) untuk PLTMH di desa
Rantabella, Kec. Lotimojong, Kab. Lawu, Sulawesi Selatan.
Bila
jaringan PLN sudah masuk desa, desa dapat menjual listriknya ke PLN (kalau
harga yang ditawarkan PLN sesuai, dengan melalui proses panjang dan
melelahkan). Contoh: PLTMH Curug Agung yang dibangun th 1991, th 1995
berkompetisi dulu dengan PLN ketika jaringan listrik PLN masuk desa.
Akhirnya th 2000, produk listriknya masuk ke jaringan ke PLN. Sementara, PLTMH Cinta
mekar 10
kW, Subang, Jawa Barat, menjual seluruh produk listriknya ke PLN dengan
harga Rp.432,00 per kWh yang telah disepakati warga dan PLN (1 Maret 2011, PLN
mau membeli Rp.800.-/Kwh). PLTMH Kombongan 85
kW, Garut juga masuk jaringan listrik nasional.
PT
Perkebunan
Nusantara XII (Persero) membangun PLTMH dengan kapasitas 3 MW di kebun
Zeelandia, Kab. Jember yang sebagian listriknya akan digunakan untuk internal
kebun (pabrik pemrosesan kopi, penyiraman tanaman kopi, penerangan rumah
penduduk, dll), dan sebagian akan dijual ke PT PLN distribusi Jatim bila
negosiasi harga per kWh nya tercapai.
Penjualan
listrik ke PLN dan masuk jaringan nasional didasari oleh Kepmen ESDM (Kepmen ESDM
1122 K/30/MEM/2002) tentang SKEMA “PSK TERSEBAR” (Pembangkit Skala
Kecil Teknologi Energi untuk Rakyat dengan Sumber
Energi Terbarukan). Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN dari
PTL menggunakan ET skala kecil/menengah dan kelebihan tenaga listrik mengacu
kepada Permen
ESDM No. 31 tahun 2009, dan Pedoman harga pembelian tenaga listrik oleh PT
PLN (Persero) dari Koperasi / Badan Usaha lain mengacu kepada Permen ESDM No.5
th 2009. Kepmen dan Permen tsb pada tgl 31 Jan 2012 diperbarui
melalui Permen
No.04 th 2012, untuk skala kecil, menengah, dan kelebihan listrik, yaitu: excess
power <10MW (Rp.656/kWh, Vmenengah, Rp.1.004/kWh, Vrendah), biomassa,
biogas (Rp.975/kWh Vm, Rp.1.325/kWh Vr), tekn. Zero waste (Rp.1.050/kWh
Vm, Rp1.398/kWh Vr), dan Sanitary Landfill (Rp.850/kWh Vm,
Rp.1.198/kWh Vr).
Pemkab
Banyumas membangun 12 PLTMH dengan total biaya Rp.300 miliar. Salah satunya,
PLTMH Kali sasak 4
MW Kec. Cilongok, Banyumas yang dikelola oleh PT BIJ (Banyumas Investama
Jaya) bekerjasama dengan PT IndoPower dengan dana sebesar Rp.60
milyar untuk 8.000 KK. Sebelumnya PLTMH Tapen (1x0,75 MW),
Ketenger-1/-2/-3, lalu beberapa PLTMH di UPB Mrica (Desa Siteki, Blumbungan,
Banjarnegara) Sempor Kab.Kebumen, dan Wadaslintang sudah dibangun di
Banyumas. Lainnya, PLTMH
percontohan Karangtengah 17kW dari sungai Prukut (debit air 300
liter/detik) untuk 66 KK, diresmikan oleh Pangdam IV Diponegoro, Feb 2012
lalu, hasil kerma PT IndoPower (pemodal) dengan TNI (bantuan tenaga kerja).
AHM
(PT Astra Honda Motor) memberdayakan masyarakat dengan membangun PLTMH
6,5 kW, sungai Cibarengkok, untuk 63 KK, di TNGHS, Sukamulya, Sukabumi, Jabar,
bekerjasama dengan Yayasan IBEKA.
Dalam
RIPEBAT (Rencana Induk Pengembangan Energi Baru Terbarukan) 2010-2025 enam
provinsi memiliki potensi PLTMH seperti Papua (ada 52
sungai berpotensi maksimal hingga 22 GW, di antaranya adalah sungai
Memberamo/10
GW, Derewo, Ballem, Tuuga /1,6 GW, Wiriagar/Sun, Kamundan, Digul / 1,5 GW,
Yuliana / 2,2 GW, Lorentz / 232 MW, dan Kladuk. PLN telah memiliki 2 PLTMH,
yaitu di Werbar, Fak-fak, 2x500 MW dan Walesi, Wamena, 80,3 MW); Kalimantan
Timur (sungai Kerayan, Mentarang, Tugu, Mahakam, Boh, Sembakung, dan Kelai)
dengan total potensi mencapai 6.743 MW. Sementara 4 provinsi lainnya adalah
Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. PLTMH
dibangun pula di Pulau Sumba, NTT.
Perusahaan
konsorsium Malaysia
membiayai pembangunan PLTMH di Sumatra Barat, khususnya di Kab. Solok (Lembah
Gumanti) via MoU dengan PT PLN sejak awal 2006. Listrik dari PLTMH
tersebut dibeli oleh PT PLN. Potensi PLTMH di Solok adalah Pinang Awam (462
kW), Koto Anau (167 kW), Sumani (625 kW), Balangir (500 kW), Leter W (7.500
kW), Pintu Kayu (4.000 kW), Liki (2.000 kW), Sangir I (10.000 kW), Sangir II
(7.658 kW), Liki Solok (60 kW), Jawi-Jawi (60 kW), dan Lubuk Gadang (103 kW).
Provinsi
Sumatra
Utara yang berpotensi PLTMH luar biasa, yaitu sekitar 250 MW akan dijadikan
Kiblat PLTMH di Indonesia. Gardu penghubung dibangun di 9 lokasi.
Dua
PLTMH dengan kapasitas 2 x 5 MW (Batangtoru-3 Pearaja, Pahae Julu, oleh BALE /
PT Berkah Alam Lestari Energi dan Batangtoru-4 Pearaja oleh IALE / PT Indah
Alam Lestari Energi) akan dibangun di Tapanuli
Utara, Sumut atas usaha BUMN dan BUMD dengan luas area sekitar 35 Ha via
kontrak kerjasama selama 25 tahun, perusahaan menyerahkan kedua proyek ke Pemda
setelah 25 tahun.
Lima
belas (15) unit PLTMH di beberapa kecamatan di Toraja
Utara (6 di kec. Rantebua, 3 di kec. Rinding Allo, 1 masing-masing di kec.
Buntupepasan, Sanggalangin, Sa'dan, Buntao, Nanggala, dan Sesean
Suloara) berhasil dibangun oleh BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa)
dengan dana berasal dari PDT (Kementrian Pembangunan Desa Tertinggal). Tahun
2011, kucuran dana dari PDT sebesar Rp.4 miliar juga akan digunakan untuk
membangun PLTMH di 15 lokasi di kec. Baruppu, Buntupepasan, Balusu, Sa'dan,
Denpina, dan Awan Rante Karua dengan memanfaatkan air dari sungai Sa'dan dan
Maiting.
PT
PLN akan membangun PLTMH
Lapopu 2x800 kW, di kec. Wanokaka, Kab. Sumba Barat yang akan selesai
pertengahan 2012.
Potensi
hidro di Sumbawa, NTB (Nusa Tenggara Barat) sekitar 67,5 MW. Oleh karena itu,
PT PLN akan membangun 11 PLTMH, yaitu, Banggo,
Sumpee, Beh I, Beh II, Beh III, Rea I, Rea II, Bintang Bano, Rhee I, Rhee II,
dan Belo. Potensi lokasi PLTMH NTB: Lombok Utara
10, Lombok Barat 15, Lombok Tengah 17, Lombok Timur 16, Sumbawa 17, Sumbawa
Barat 9, Dompu 9, dan Bima 5.
PT
Aek Simonggo dengan dana berasal dari PGLI 35% (PT Pembangunan Graha
Lestari Indah Tbk) dan Arcadia (Arcadia Energy Trading Pty Ltd.) 65%
mengembangkan PLTMH Sei Wampu di Sumatra Utara yang konstruksinya dimulai Juli
2011 selama 24 bulan.
UMM (Univ. Muhammadiyah
Malang) bekerjasama dengan Kementerian ESDM menghasilkan PLTMH di kompleks
kampus UMM berdaya 70-100 kW di Sengkaling I, Malang. Kemudian UMM membangun PLTMH
35 kW di dusun Sumbermaron, Desa Karangsuko, Kec. Pagelaran, Kab. Malang
dengan sponsor dari Australia Partnership dan Bank Dunia senilai Rp.408 juta
yang digunakan untuk mesin pompa pengairan dan air bersih.
Potensi
mikrohidro di Prov Jabar
cukup besar, karena kawasan Jabar kaya aliran sungai deras. Proyek PLTMH yang
sedang berjalan adalah di Kab. Bogor (Rp.855 jt), Kab. Cianjur (Rp.1,4 miliar),
Kab. Garut (Rp.920 jt). PLTMH yang masuk jalur PLN adalah Cijedil (3 kW) di
Cianjur, Curug Agung (788 kW) di Subang, Cinta Mekar (120 kW), Jembelair (100
kW) di Purwakarta, dan Cipayung (240 kW).
PLTMH
Kawata (30 kW) Luwu Timur, Sulsel, bantuan Kementrian Daerah
Tertinggal (PDT) telah diresmikan oleh Bupati Lutim.
Empat unit PLTMH dengan kapasitas total 8,1 MW di Mamuju,
Sulbar, yaitu PLTMH Balla (2x350 kW) (operasi 2011), PLTMH Kalukku (2x700 kW)
April 2012), P)LTMH Bone Hau (2x2MW), PLTMH Budong-budong (2x1 MW) (Agustus
2012) dapat menghemat BBM Rp 200 miliar/tahun. Beban puncak sekitar 12 MW, 67%
dari air.
LAUT
Sejak dikeluarkan UU no.17/2007 RPJPN 2005-2025, Road
Map yang mengatur tentang energi laut masih belum
ada. Upaya menyusun
Road map sedang dilakukan. Ada tiga jenis energi laut yang dapat
dimanfaatkan, gelombang laut, energi pasang surut, dan panas laut.
GELOMBANG
AIR LAUT
Metode
Energi Listrik Gelombang Air Laut (400 W) karya mahasiswa dan dosen Politeknik
Manufaktur Timah, Bangka Berlitung mendapat hak Paten dari Kementrian Hukum
dan Ham RI, dan biaya hak paten ditanggung Dikti Kemendiknas.
Percobaan
PLTGL-SB (Sistem Bandul) Zamrisyaf (pemilik
paten No. HAKI P00200200854) mampu menghasilkan listrik 3 kW dan menerangi 20
rumah nelayan. Bila hanya 20% saja pantai Selatan Jawa dimanfaatkan untuk
PLTGL, maka 6,5
GW dapat diperoleh, dengan potensi 40 kW per meter lebar gelombang. Daya
yang diperoleh ini tidak jauh berbeda dengan perolehan listrik dari PLTN
(Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir). Investasi
PLTGL-SB setara dengan PLTA. Dengan laut seluas 1 km2, daya listrik dari PLTGL
20 MW dapat diperoleh. Ponton
(tongkang kecil) yang digunakan berbentuk delima yang sebagian terendam air,
dengan panjang lengan 2 m, dan bandul seberat 10 kg. Bila tinggi gelombang 0,5-1,5
m, maka akan dihasilkan putaran 200 rpm dan daya sebesar 25,2 kW. Bila
satu unit ponton terdiri atas 5 set bandul, maka daya akan mencapai 125
kW.
PLT
GRAVITASI
Djoko
Pasiro, Pamekasan, Madura, memanfaatkan tenaga Gravitasi bumi yang murni
berasal dari kekuatan alam guna menggerakkan mekanik penarik dinamo generator
untuk menghasilkan listrik. PLT Gravitasi daya kecil, sebesar 2.500 Watt
membutuhkan biaya hanya 15 Juta rupiah.
EAL
(ENERGI ARUS LAUT)
Arus
laut di Indonesia berupa pasang surut yang diakibatkan oleh interaksi bumi,
bulan, matahari, dan arus geostropik karena gaya Coriolis akibat rotasi bumi
serta perbedaaan salinitas, temperatur, dan densitas. Arus pasang surut menyimpan
energi hidro-kinetik, sehingga dapat dikonversikan menjadi daya listrik yang
bergantung pada densitas fluida, penampang aliran, dan kecepatan alirannya.
Selat-selat yang menghadap Lautan Hindia dan Samudra Pasifik teramati memiliki
arus yang kuat.
Potensi EAL
Indonesia menghasilkan listrik sangat besar, yaitu sekitar
5,6-9 TerraWatt (TW). Angka itu kira-kira 30-50ribu kali PLTA Jatiluhur (187
MW). Bandingkanlah dengan daya listrik dari 430 unit PLTN dunia yang hanya
sekitar 363 GW (2009).
Bappenas mendorong EAL sebagai sumber EBT yang handal guna memenuhi permintaan
masyarakat pesisir 18 ribu pulau di Indonesia yang tidak terjangkau oleh
jaringan listrik nasional. Laju arus pasang-surut di pantai umumnya kurang dari
1,5 m/detik, kecuali di selat-selat di antara P. Bali, Lombok, dan NTT dapat
mencapai 2,5-3,4
m/detik. Arus pasang-surut terkuat tercatat di Selat antara P. Taliabu dan P.
Mangole di kepulauan Sula, Maluku Utara dengan laju 5,0 m/detik.
Tahun
2004, BPPT / BPDP
(Balai Pengkajian Dinamika Pantai) membangun purwarupa OWC (Oscilating Water
Column, dinding tegak) pertama di pantai Parang Racuk, Baron, Gunung Kidul
dengan potensi gelombang 19 kW per panjang gelombang. Survei
hidroseanografi menunjukkan bahwa PLTAL (Pembangkit Listrik Tenaga Arus
Laut) akan optimal bila ditempatkan sebelum gelombang pecah atau pada
kedalaman 4-11 m. Putaran turbin akan dicapai antara 300-700 rpm dengan
memiliki efisiensi 11%. Tahun 2006, OWC sistem Limpet / terapung diletakkan
berdampingan dengan OWC th 2004, di tempat yang sama.
Tahun
2005: penelitian karakteristik arus laut dilakukan oleh Puslitbang Geologi
kelautan (PPPGL) berkolaborasi dengan Program Studi Oceanografi ITB di selat
Lombok dan selat Alas menggunakan turbin Kobold 300 kW.
Th
2006-2010: penelitian BPPT dilakukan di beberapa selat Nusa Tenggara (NTB dan
NTT), di antaranya S. Lombok, S. Alas (diujicoba April 2012, 75
MW), S. Nusa Penida, S. Flores, dan S. Pantar. Selat-selat
lainnya yang diperkirakan memiliki arus laut cukup kuat adalah S.
Sape, S. Linta, S. Molo, S. Boleng, S. Lamakera, dan S. Alor. Bila satu
selat dapat dipanen energi sebesar 300 MW dengan asumsi 100 buah turbin
masing-masing berdaya 3 MW, maka akan dihasilkan listrik sekitar 3000 MW untuk
10 selat. Tahun 2009, BPPT menguji purwarupa PLTAL sebesar
2 kW dan tahun 2011 sebesar 10 kW di S. Flores. Purwarupa pertama dibangun
PPPGL bersama kelompok T-files ITB dan PT Dirgantara Indonesia yang
diuji di S. Nusa Penida dan mampu menggerakkan generator listrik 5.000
W.
2012-2014:
purwarupa skala besar (>80 kW) dicoba untuk mengembangkannya menjadi skala
komersial. Tahun 2025, PLTAL diharapkan akan mencapai 5% dari sasaran kebijakan
energi 25% bauran energi Indonesia.
Mahasiswa&Alumni
ITB
dari PT TFiles
Indonesia (13 orang) berhasil memanfaatkan arus laut menjadi PLTAL 10 kVA. Th
2012. Mereka bekerjasama dengan Dinas PU-Binamarga menyalakan 1.000 lampu
jembatan Suramadu. Semua komponen turbin buatan lokal kecuali magnet yang
dibandrol dengan harga Rp.400juta dengan lifetime 5 tahun. Kerma
diteruskan ke PLN Batam
untuk memberikan listrik 1MW.
PANAS
LAUT
OTEC
(Ocean Thermal Energy Conversion) dibedakan 3 macam, daur tertutup, daur
terbuka, dan daur gabungan (hibrid). Potensi: 222
GW. Lima lokasi sedang dijajagi, Selat Sunda, Bali Utara, Bali Selatan,
Maluku Utara, dan NTT. Bali Utara
terpilih untuk survei dengan kapasitas pembangkit sekitar 100 kWe.
GAS
HIDRAT METAN
BPPT,
BGR Jerman, dan JAMSTEC-Jepang mengobservasi bahwa cadangan gas Hidrat sekitar 17,7
triliun m3 di perairan Selatan Sumsel, selat Sunda, dan Selatan Jawa Barat
(cadangan gas alam Natuna sekitar 1/3-nya), sedangkan di laut Sulawesi sekitar
6,6 triliun m3. Teknologi eksplorasi gas hidrat belum dikuasai Indonesia.
PANAS BUMI
|
Potensi
energi PLTP: 29.038 MW (29 GW), sedangkan kapasitas terpasang saat ini
sebesra 1.341
MW atau 4,62%
dari total potensi yang ada. Empat puluh (40) % potensi dunia ada di Indonesia,
dan sekitar 276
titik potensi panas bumi telah ditemukan. Indonesia merupakan potensi terbesar
di dunia, sehingga mendorong Indonesia untuk dijadikan pusat
pengembangan panas bumi dunia. Potensi itu ditemukan tersebar di
sepanjang lajur Sumatera,
Jawa, Nusa Tenggara, Busur Banda hingga Sulawesi Utara, dan lajur Halmahera,
Bali, dan Papua. Potensi tersebut dua
kali cadangan minyak bumi Indonesia. Dr.
SK Sanyal (GeothermEx Inc., California) menyinggung bahwa lebih
dari 70% lahan Indonesia memiliki basis sumberdaya geothermal lebih dari 50 MW
dan hampir setengahnya lebih dari 100 MW dengan sumur komersial antara 3-40 MW
(rata-rata 9 MW), sedangkan sumur bor dunia hanya sekitar 4-6 MW. Tahun 2025,
EBTKE menargetkan 12
GW dapat ditapis dari PLTP.
Sejarah
pemanfaatan PLTP di Indonesia diawali oleh usulan Van Dijk asal Belanda tahun
1918 untuk membangun PLTP di Kamojang,
Jabar. Kamojang menghasilkan uap tahun 1926, kemudian dari 5 sumur uap hanya
satu sumur yang produktif, tetapi tidak lama kemudian mati. Tahun 1964 PLTP
dihidupkan kembali oleh Direktorat Vulkanologi (Bandung), PLN, dan ITB. Tahun
1971, PLTP Lahendong Sulut, dan PLTP Lempung, Kerinci dikembangkan. Tahun 1972,
pengeboran 6 sumur di Dieng, Jateng, dilakukan, tetapi tak satu pun
mengeluarkan uap. Tahun 1974, Pertamina dan PLN mengembangkan PLTP Kamojang 30
MW. Tahun 1977, Selandia Baru menyumbang NZ$24juta dari kebutuhan NZ$34juta,
sisanya ditanggung Indonesia untuk Kamojang. Tahun 1978, tim Kanada ke
Lahendong dan Lempung, Kerinci. Monoblok Kamojang diresmikan 27 November. Tahun
1981, Monoblok Dieng diresmikan 14 Mei; Pertamina diberi wewenang melakukan
survei, eksplorasi dan eksploitasi PLTP di Indonesia. Tahun 1982, Pertamina
meneruskan penelitian di Lahendong dan melakukan kontrak dengan UGI (Unocal
Geothermal Indonesia) untuk PLTP di Gunung Salak, Jabar. Tahun 1983, PLTP
Kamojang-I 30 MW diresmikan 1 Februari. Tahun 1987, PLTP Kamojang-II
dioperasikan. Pertamina, Amoseas of Indonesia Inc., dan PLN melakukan
kerma eksplorasi panas bumi di Gunung Drajat, Jabar. Tahun 1991, keluar Keppres
meleluasakan Pertamina dan kontraktor mengeksplorasi dan mengeksploitasi panas
bumi, dan menjual uap / listrik kepada PLN. Tahun 1994, PLTP Gunung Drajat-I
beroperasi, PLTP Gunung Salak-I dan II beroperasi, dan Pertamina melakukan
kontrak dengan 4 perusahaan swasta. Tahun 1995, Nota kesepahaman dilakukan
Pertamina dan PLN untuk membangun PLTP Lahendong 1x20 MW, Sulut, dan PLTP
Sibayak 2 MW, Sumut.
Kapasitas
terpasang PLTP Indonesia: yaitu di PLTP Kamojang (200 MW) Jabar, Lahendong-1, 2, dan
3 (3x20 MW) Sulut, Dieng
(60 MW) Jateng, Gunung Salak (375
MW) jabar, Darajat (255 MW) Jabar, Sibayak
(2x5 MW) Sumut, dan Wayan Windu (227 MW) Jabar. Kapasitas yang sudah terpasang
itu menempatkan Indonesia di posisi ketiga dunia setelah Amerika dan Pilipina.
Bila digenjot hingga 4.000
MW bukan tidak mungkin PLTP Indonesia akan menempati posisi nomor satu dunia.
Program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang
komposisi energi mix-nya mengarah ke Panas Bumi itu diharapkan akan
meningkatkan pemanfaatan panas bumi hingga 17% (4.713
MW) pada tahun 2015.
PLTP
Ulubelu-1 dan 2 di Lampung dengan kapasitas 2 x 55 MW akan beroperasi th
2012.
Selain
itu, PLTP
lain yang masuk dalam target pemanfaatan panas bumi adalah PLTP Lahendong-4 (20
MW) (Sulawesi Utara), PLTP Sarulla 330/3x110 MW (Sumatera Utara), PLTP
Ulumbu (10/4x2,5 MW) di Flores, NTT. PLN melakukan Studi
kelayakan untuk PLTP Hululais (110/2x55 MW) di Bengkulu, PLTP Sungai
Penuh (110/2x55 MW) di Jambi, PLTP Kotamobagu (80/4x20 MW) di Sulut, PLTP
Tulehu (20 MW) di Ambon, dan PLTP Sembalun
(70 MW), Lombok Timur.
Sayangnya,
sekitar 70% lokasi PLTP yang potensial berada di kawasan hutan lindung,
sehingga terjadi konflik kepentingan dengan Kementrian Kehutanan, yaitu apakah
membangun PLTP atau mempertahankan kawasan konservasi. Untuk mengatasi hal
tersebut perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
- Revisi PP no. 68 th 1998 Perpu Panas Bumi di kawasan konservasi dan revisi UU No. 5 th 1990.
- Perlu payung hukum untuk PP No.68 th 1998 agar terjalin kerjasama dan sinergi antara Kementrian Kehutanan dan Kementrian ESDM
- Revisi UU No.5 th 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya.
Sinkronisasi
regulasi menjadi langkah mendesak guna mempercepat pengembangan energi panas
bumi di Indonesia. Indonesia memerlukan investasi USD30 miliar untuk
mengembangkan PLTP 11.000 MW hingga 2025. Memang, konsekuensi pemberian ijin
PLTP di hutan lindung akan menyebabkan beberapa Ha hutan lindung akan terbabat.
PT
CGI (Chevron Geothermal Indonesia) belum mendapat ijin
penambahan 9 Ha dari Menhut untuk membabat hutan karena telah melanggar daerah
cagar alam Gunung Papandayan di Kertasari Bandung. Di sisi lain, PT
PGE (Pertamina Geothermal Energy) berencana menanam 100juta pohon di
sekitar lereng gunung berapi hingga 2015, salah satunya adalah 50 ribu pohon
telah ditanam akhir th 2011 di sekitar PLTP Kamojang guna menahan resapan air
dan mengurangi emisi karbon, agar panas
dan air terjaga dan Kamojang terus menghasilkan uap.
Saat
ini, sebanyak 28
titik potensi panas bumi (14 proyek PLTP pada WKP existing sebelum
terbit UU No.27/2003 dan 14 proyek PLTP pada WKP baru setelah terbit UU no.
27/2003, sekitar 12.069 MW) di hutan lindung sepanjang Sumatra, Jawa, Nusa
Tenggara telah disepakati agar proses perijinan proyek dari menteri Kehutanan
segera berjalan. Permen 11/2008 mengajukan 5 WKP, yaitu Bonjol
(Sumbar) 200 MW, Danau Ranau (Lampung, Sumsel) 210 MW, Mataloko (NTT) 63 MW,
Ciremei (Jabar) 150 MW, dan Gunung Endut (Banten) 80 MW. Calon 4 WKP lainnya
(masih disurvei) adalah Sembalun (NTB) 120 MW, Way Ratai (Lampung) 194 MW,
Simbolon Samosir (Sumut) 225 MW, dan Telomoyo (Jateng) 92 MW.
PT
Pasifik Geoenergy (PAGE)
(PT (10%) dan Ormat
Tech. Inc. (Amerika) (90%) teken kontrak menginvestasikan dana US$200juta
(15 MW, hingga 60 MW dalam 3 tahap) untuk PLTP Hu'u
Dompu, di Sumbawa, NTT.
PT
SBG (Sintesa Banten Geothermal)
mengeksplorasi PLTP (potensi 225 MW) di Gunung Karang Kab. Pandeglang.
Konsorsium
(Medco Geothermal Indonesia, Ormat technology Inc / USA, Kyusu
Electric Power Inc / Jepang, dan Itochu Corp. / Jepang) proyek PLTP
Sarulla 330/3x110 MW, di Kab. Tapanuli Utara dan Selatan, Sumatera Utara,
menggarap proyek senilai US$(1,6)
miliar yang didanai oleh JBIC (Japan Bank for International Corp.)
dan ADB (Asian Development bank) dan beberapa bank komersial. Tarif jual
listriknya ke PT PLN sekitar US$0,0679/kWh.
PLTP Sarulla-1 110 MW, Sarulla-2 110 MW, dan Sarulla-3 110 MW diharapkan
beroperasi komersial pada tahun 2016, 2017, dan 2018.
Proyek PLTP terbesar
di dunia itu mundur 3 tahun dari rencana semula. Pemerintah menyiapkan SKB
3 Menteri (ESDM, Keuangan, BUMN) guna mengatasi kisruh tersebut.
PT
Medco Geothermal Indonesia berencana
membangun PLTP
Ijen 110/2x55 MW, di Jawa Timur senilai US$ 400juta pada tahun 2013 dengan
lama konstruksi 2,5 tahun.
ADB
(Asian Development Bank) mengucurkan dana US$500 juta untuk pengembangan
3 PLTP, yaitu PLTP Karaha
Bodas (2x55 MW) (PGE=Pertamina Geothermal Energy), Garut,
Sungai Penuh (55 MW), Jambi (PGE), dan Mataloko
(2x2,5 MW) (PLN) di Ngada, P. Flores, NTT. Pengembangan PLTP Karaha
Bodas di lahan sekitar 40 Ha dilanjutkan kembali setelah dibatalkan
pemerintah (Soeharto) saat krisis ekonomi 1997. Pengoperasian PLTP Karaha Bodas
diharapkan berjalan sekitar tahun 2014.
PLTP Sungai Penuh berlokasi di hutan lindung, sehingga pembangunannya menunggu
UU amandemen Panas Bumi.
PT
PLN
(Persero) dan dua pengembang PLTP, Pertamina GE dan PT Westindo Utama Karya,
Maret 2011 menandatangani PPA (Power Purchase Agreement) untuk 6 PLTP
(435 MW), yaitu 5 untuk PGE, 1 untuk WUK.
PGE mengembangkan PLTP Lumut balai (2x55 MW) di Sumsel, PLTP Ulubelu-3 dan
4 (2x55 MW) di Tanggamus, Lampung, PLTP Lahendong-5 dan 6 (2x20 MW) di Sulut,
PLTP Karaha Bodas (1x30 MW), dan PLTP Kamojang-5 (1x30 MW) di Jabar, sedangkan
PT WUK mengembangkan PLTP Atadei (2x2,5 MW) di Lembata, NTT dg dana sekitar RP
1,9 triliun yg akan dimulai pembangunannya th 2013. Sementara itu, konsorsium
yg terdiri atas PT Supreme Energy, GDF Suez, dan Marubeni Corp menandatangani
PPA dg PT PLN guna membangun PLTP Rantau
Dedap 2x110 MW dg harga yg disepakati 8,86 sen US$ yg akan beroperasi th 2017.
BPPT
mengembangkan purwarupa PLTP skala
kecil 3 MW di Kamojang, Jawa Barat, yang akan selesai akhir 2011. Proyek
ini menggunakan komponan lokal termasuk turbin (gandeng NTP, Nusantara Turbin
Propulsi anak perusahaan IPTN) dan generator (gandeng PT Pindad). Dana
diperoleh dari APBN BPPT Rp 50 milyar. Di sisi lain, BPPT mengkaji PLTP
Ulu Ere 25 MW di Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan.
PT
Supreme Energy bernegosiasi dengn PT PLN (Persero) guna membangun 2 PLTP di
Sumatera, PLTP Rajabasa 220 MW di Lampung, dan PLTP Muaralabuh 220 MW di
Sumatera Barat yang direncanakan beroperasi tahun 2015 dengan dana investasi
US$650 juta per lokasi.
Proyek
PLTP
Gunung Slamet 220 MW, Jawa tengah, senilai Rp. 6 triliun (US$ 660
juta, 1 MW membutuhkan investasi US$ 3 juta) siap dibangun Juni 2011 oleh
2 investor, PT Spring Energy dan PT Tri Energy.
Panax
Geothermal Ltd. (Australia) dengan menggandeng PT
Bakrie Power berminat untuk mengembangkan proyek PLTP Sokorja (P. Flores
30 MW) dan PLTP Dairi Prima (Sumut, 25 MW). PT Bakrie Power
berpartisipasi di
PLTP Ngebel-Wilis 165 MW, Jawa Timur.
Pemprov
Jabar siap melelang PLTP
Ciremai 150 MW, di Kab. Kuningan, ke BUMN, BUMD, dan BUMS.
PLTP
Patuha 60 MW, Babakan, Sugihmukti, Pasir Jambu, Jabar akan beroperasi 2013.
Cadangan
panas bumi baru yang ditemukan adalah Kebar (25 MW) Manokwari, Papua Barat;
Tehoru (75 MW), Banda Baru (75 MW), dan Pohon Batu (50 MW) Maluku Tengah;
Kelapa Dua (25 MW) Maluku Barat; Lili (75 MW), Mapili (50 MW), dan Alu (25 MW)
Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Calon
lokasi PLTP
yang belum disurvei adalah Sungai Betung/Kab. Kerinci (Jambi), Pesisir
Selatan (Sumbar), Sungai Tenang/Kab. Merangin, (Jambi), Ciseeng (Bogor, Jabar),
Lebak (Banten), Malawa/Kab. Maros, Pangkajene/Kab. Bone, dan Kab Barru
(Sulsel), Gunung Dua dara (Kab. Bitung, Sulut), Gunung Pangrango (Bogor,
Jabar).
BIOMASSA
Potensi
energi biomassa Indonesia diperkirakan: 49.810 MW (50 GW) yang berasal
dari perkiraan produksi 200 juta ton biomassa/tahun dari residu pertanian,
kehutanan, perkebunan dan limbah padat/sampah kota, sementara daya terpasang:
hanya 1.618,4 MW
(th 2011) atau sekitar 3,25 % saja dengan hutan produktif dan perkebunan seluas
23 juta Ha. Itu berarti pemanfaatan biomassa untuk energi listrik masih sangat
sedikit. Program jangka pendek Kementrian ESDM meliputi promosi investasi,
insentif fiskal dan pajak, kebijakan penetapan harga energi, penyebarluasan
informasi, dan penelitian dan pengembangan.
PT
Growth Asia (PLTU
Biomassa terbesar di Indonesia, 2x15 MWe) memanfaatkan limbah kering cangkang
kelapa sawit, sekam padi, bonggol jagung, dll. sebagai Energi Terbarukan untuk
menapis listrik. PLTU sejenis yang sedang dibangun dan direncanakan adalah di
Sumatra (GSI, HS, PKU, DJB, PLM); Jawa (Indocoke); dan Kalimantan (PNK,
BDJ, BPN).
Kelapa
Sawit
Indonesia
adalah produsen kelapa sawit terbesar
di dunia, dan produksi minyak sawit tahun 2013 diperkirakan 24 juta
ton dengan potensi biomassa dari residu minyak kelapa sawit dan 350 pabrik minyak kelapa
sawit dalam jumlah besar pula, dalam hal ini tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
sekitar 27,5 juta
ton basah (1
ton TBS/Tandan Buah Segar menghasilkan 200 kg CPO, limbah TKKS 250 kg, dan
limbah cair 0,5 m3). Masih ada limbah sawit lain, seperti pelepah 4%, cangkang
6,5%, serat 13%. Pemerintah melarang membakar TKKS langsung guna menghindari
pencemaran udara.
Riau
sedang membangun PLTBiomassa dari pelepah sawit di Siak dan Inhil. KEI
(PT Kreatif Energi Indonesia) membangun PLTBiogas 4 MW dari limbah cair
kelapa sawit pertama di Langkat, Sumut, dengan investasi
Rp.20miliar. Nurhuda (dosen
Unbraw, Malang, Jatim) memanfaatkan cangkang sawit (kulit, batok sawit) sebagai
bahan bakar kompor ciptaannya Biomass UB 03-1 (isi 1 kg, laju bakar 10 gr/menit
selama 100 menit) yang bersistem semi-gasifikasi dengan aliran udara
alami tanpa listrik sama sekali. Limbah cangkang tersedia sekitar 5% dari
TBS, atau sekitar 5 juta ton/tahun dengan harga Rp300/kg di Kalimantan dan
Sumatra, atau sekitar Rp1000,- di Jawa yang mampu mencukupi bahan bakar kompor
untuk 13 juta keluarga di Indonesia.
BPPT
dan AIST (National
Institute for Advance Industrial Science and Technology) Jepang yang
didukung oleh NEDO (New Energy and Industrial Technology Development
Organization) bekerjasama (via MoU) meneliti, mengembangkan, dan
merekayasa teknologi biomassa untuk pembangkit listrik.
Kerjasama
Pemerintah dan Finlandia diteken
14/02/2011 membuahkan dana hibah 4 juta Euro selama 3 tahun (2011-2014). Pada tahap
pertama, program difokuskan kepada pemanfaatan biomassa berbasis kayu dan
limbah pertanian. Propinsi Kalimantan Tengah dan Riau dipilih Finlandia
mengimplementasikan program tersebut.
Pemprov
Bangka Belitung merencanakan membangun pembangkit listrik berbasis biomassa TKKS. Pasokan bahan baku TKKS dari kebun sawit seluas
80.000 Ha akan menghasilkan 20 MW.
PT
Ajiubaya
memanfaatkan biomassa di Sampit (Kaltim) dengan kapasitas 4-6 MW. PT Boma Bisma
Indra memanfaatkan gasifikasi biomassa pada mesin diesel (listrik dan mesin
giling) dengan kapasitas 18 kW di beberapa daerah di Kalimantan, Sumatra, dan
Sulut.
Pelet
Kayu/Limbah Kayu
Kebutuhan
dunia: 12,7 juta ton (th 2010), Indonesia baru memenuhi 40 ribu ton th 2009).
Investor Korsel, hasil kerjasama Korsel-Indonesia yang diteken Indonesia
6/3/2009 di bidang wood pellet energy, PT
Indoco Group membangun HTI seluas 200 ribu Ha dengan dana Rp.3 triliun guna
memanfaatkan "pelet kayu" di Sulbar. Indoco group melalui PT Bara
Indoco (68.015 Ha) dan PT Bio Energy Indoco (21.580 Ha) sudah
menanam 89.595 Ha (45%). Sebelumnya, ia telah membangun pabrik pelet kayu
(berdiameter 6-10 mm dan panjang 10-30 mm, dengan energi setara 4,7 kWh/kg) di
Wonosobo, Jateng dengan kapasitas 200 ribu ton/tahun yang menggunakan kayu
hutan rakyat dan limbah industri gergaji, limbah tebangan dan limbah industri
kayu lain. Sementara, PT Solar Park Energy (Korsel) dan Perum
Perhutani mengolah limbah kayu sengon dan kaliandra di Wonosobo. Medco Energy
via PT Selaras Inti Semesta membangun HTI seluas 169.400 Ha guna memproduksi
200 ribu ton chip/tahun. PLN dan General
Electric International Operation Co. bekerjasama membangun PLTBiomassa 1 MW
(dari serpihan kayu/tumbuhan organik) di P. Sumba (NTT) yang melahap lahan
sekitar 100 Ha..
Limbah
Jagung (+sekam padi)
Provinsi
Gorontalo Mengembangkan PLBM (Biomassa) limbah jagung
bekerjasama dengan LIG Ensulting Co Ltd (Korea Selatan) dengan
kapasitas 12 MW. Tahun 2009, areal jagung seluas 105,479 Ha menghasilkan
produksi 569.110 ton dan limbah berupa tongkol, batang, dan daun sebanyak 2,2
juta ton. Sementara, padi seluas 44.829 Ha menghasilkan limbah sekam padi
51.385 ton. PLBM tersebut membutuhkan limbah jagung dan sekam padi 350
ton/hari. Studi kelayakannya telah selesai Januari 2011.
Jerami+sekam
padi
Per
1 Ha sawah menghasilkan kira-kira 5 ton jerami dan 1 ton sekam. Artinya, 1 MW
listrik dihasilkan dari 1500 Ha sawah. Sementara, luas lahan padi Indonesia
sekitar 12,87 juta
Ha (th 2010) yang berarti energi listrik setidaknya 8.600
MW dapat dipetik dari jerami+sekam padi, bila panen dilaksanakan setahun
sekali (panen umumnya dilaksanakan dua kali setahun).
PT
Xoma
Power Nusantara menggandeng pengembang listrik swasta dari Rusia (JSC
PromSvyaz Automatika) dan Babcock and Brown (Australia,
penyandang dana sekitar Rp.220 miliar) akan membangun PLBM dari jerami+sekam
berkapasitas 10-22 MW (tergantung ketersediaan Jerami+sekam) di Serdang Bedagai
(Sergai), Sumut. Kalori jerami+sekam sekitar 3.180 kalori/kg sedangkan batu
bara sekitar 5.000-6.000 kalori/kg. Listrik sebesar 10 MW memerlukan 80.000 ton
jerami+sekam.
PT
Bioguna Sustainable Power membangun PLBM 6 MW berbahan bakar sekam padi
di Gerbang Kawasan Industri Makassar, Sulsel.
Gas
TPA
Sampah
diolah dengan 5
cara: 1) Ball Press, sampah dipres, padatan dibungkus plastik, untuk dijadikan
penahan erosi, air yang keluar dijadikan pupuk; 2) Incinerator skala
besar, 900-1800 ton dibakar; 3) GALFAD (Gasification, Landfill, an
Aerobic Digestion), gas methan yang timbul di TPA dimanfaatkan untuk
menjadi energi listrik. 1 MW setara dengan 30-50 ton sampah; 4) Bio Pupuk:
sampah terpilih dihancurkan dengan tekanan hingga menjadi bubur, lalu diberi
mikroba dalam bak cerna tanpa oksigen; 5) Limbah menjadi Energi: sampah
digunakan sebagai bahan baku PLBM. 1500-1800 ton/hari akan menghasilkan listrik
20 MW.
Sampah
(ton/hari) di kota besar Indonesia sungguh besar jumlahnya. Jakarta
menghasilkan sampah 6500,
Bandung 1.100,
Denpasar 2.000, Surabaya 1.800,
Medan 1.700,
Makassar 870, Palembang 750, Yogyakarta 300, dan Semarang 700.
Dari sampah itu, limbah organik saja yang akan masuk ke TPA, sedangkan lainnya
(kertas, plastik, logam, gelas, dll) didaur-ulang. Setiap 500
ton/hari sampah yang diolah setara dengan daya listrik 5-6 MW.
Pemerintah
Kota Bandung akan merealisasikan PLTSa (Sampah) di lahan 20 Ha yang akan
menelan biaya sekitar Rp. 1,5 triliun.
Pemerintah
kota Surabaya via PT
Navigat Energy Indonesia akan merealisasikan PLTSa 10
MW guna menerangi 100.000 rumah.
Pemkot
Denpasar, Pemkab Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA) bersama dengan PT NOEI (Navigat
Organic Energy Indonesia) membangun IPST (Instalasi Pengolahan Sampah
Terpadu) guna mengubah sampah menjadi energi listrik 9-10 MW. IPST dibangun di
TPA Suwung, Denpasar di atas tanah seluas 10 Ha (tersedia 40 Ha). Jumlah sampah
dari kawasan SARBAGITA yang diperkirakan sekitar 800 ton/hari diubah menjadi
energi listrik menggunakan teknologi GALFAD. Sampah sekitar 165 ton di Bengkala,
Singaraja di TPST diolah menjadi gas metan (PLTG) guna menggerakkan
generator menjadi listrik dengan sasaran hingga 2 MW.
PLTSa
di Bantar Gebang (proyek 700 milyar) di Bekasi baru memproduksi listrik 2-4
MW dengan teknologi GALFAD dan kapasitas itu akan terus dinaikkan hingga 26
MW pada tahun 2013 guna memanfaatkan 6.000 ton sampah/hari dari Jakarta, dan
1.000 ton/hari dari Bekasi. Pertamina yang
bekerjasama dengan PT Gondang Tua Jaya ikut terlibat dalam pemanfaatan sampah
Bantar Gebang tersebut dengan menyuntikkan dana sekitar US$180juta guna
membangun PLTsa lebih besar, 120 MW, yang akan beroperasi th 2014. Di samping
itu, pabrik kompos dari sampah organik telah dibangun dan telah mencapai 60
ton/hari dengan target 300 ton/hari pada 2013. Capaian PLTSa tersebut sempat
disampaikan di Pertemuan Penanganan Perubahan Iklim C40
di Sao
Paulo, Brasil, 1-3 Juni 2011. Kesuksesan di Bekasi itu akan ditularkan pula
ke Ciangir, Legok Tangerang, dan Marunda, Jakarta Utara. IPST Ciangir
berada di atas lahan 50 Ha dan 48 Ha lainnya sebagai lahan hijau milik
Pemerintah DKI Jakarta yang akan menerima 1.500 ton sampah/hari dari
Jakarta Barat dan 1.000 ton/hari dari Tangerang, sedangkan IPST Marunda
dibangun di atas lahan 76 Ha di kecamatan Cilincing, Jakarta Utara yang
disiapkan untuk menerima sampah dari Jakarta Utara dengan kapasitas desain
perolehan energi listrik sebesar 10 MW.
Sisa
sampah organik di Bantar Gebang diubah menjadi pupuk organik yang dikelola
oleh PT Gondang Tua Jaya dengan kapasitas produksi 350
ton/hari dan PT Mitra Patriot milik Perusda Bekasi (50 ton/hari) yang
potensinya dapat ditingkatkan menjadi 2.000 ton/hari. Harga pupuk organik dipatok
Rp.1.250,-/kg.
PT Gikoko
Kogyo Indonesia mengembangkan PLT gas methan dari TPA di Makasar, Bekasi,
Pontianak, dan Palembang.
PLT
Sampah (Biometha
green) menjadi pilot project di perumahan Griya Taman Lestari, Sumedang.
BIOGAS
(gas Methan)
Limbah
ternak/manusia
Peluang
pengembangan biogas
Indonesia sangat menjanjikan.
Th 2009, Indonesia memiliki 13
juta sapi
ternak dan perah,
28 juta kambing/domba/kerbau dan 238 juta penduduk Indonesia
penghasil biogas
yang amat besar.
Potensi:
1 juta unit (bak cerna = digester). Tiga ratus unit yang memanfaatkan kotoran
sapi dibangun di DME Haurngombong,
kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Energi biogas
di sini baru dimanfaatkan 40% yang membangkitkan 130 instalasi, sedangkan satu
instalasi melayani 3-4 KK.
Koperasi
SAE
Pujon (beranggotakan 7000 orang peternak sapi)
yang bermitra dengan HIVOS (LSM Belanda), Kabupaten Malang siap
membangun
2000 unit reaktor Biogas Rumah Tangga (BIRU)
hingga tahun 2012. Hingga Feb 2013, sekitar 2609 reaktor biogas sudah terbangun
di Malang, dan 5100
reaktor biogas di Jatim, sementara target nasional sekitar 8300 unit. HIVOS
juga melirik P. Sumba sebagai
program EBT masa datang. Pemerintah dan HIVOS juga membidik NTB,
Bali (Gianyar,
Bangli, Buleleng, Tabanan, Badung, Klungkung), Sulsel,
Jabar, Jateng, Jatim, dan DIY untuk mencapai target itu.
Seekor
sapi dewasa menghasilkan sekitar 25
kg kotoran/hari. Setiap 20 ekor sapi menghasilkan 20 m3 biogas/hari yang
setara dengan energi
listrik 12
kWh yang cocok untuk 6 rumah selama 10 jam dengan daya 100-200 Watt/rumah.
Pemerintah
Kabupaten Kulon
Progo, provinsi DIY, memanfaatkan biogas dari limbah ternak dan
limbah
pabrik tahu dengan membangun bak cerna 136 unit yang dikembangkan sejak
tahun 2008. Penduduk Kulon Progo juga telah membangun 200 unit yang tersebar di
Kabupaten Kulon Progo. Daerah yang dikenai Pilot Project adalah
Lendah, Temon, Wates, Pengawasih, dan Galur. Tahun 2011 pemerintah memberikan
dana Rp.388juta untuk membangun 21 unit bak cerna bagi keluarga miskin yang
memiliki sapi dan kerbau. Setiap unit memerlukan dana Rp.18juta untuk 3 KK yang
membutuhkan kotoran 3-4 ekor sapi. Daerah lain di Kulon Progo yang juga
mengembangkan biogas hingga mencapai 160 unit adalah desa Pendoworejo,
Girimulyo.
Salah
satu bantuan CSR PT
PLN (Persero) Kantor Pusat kepada PT PJB digunakan untuk DME di lokasi
Sumberejo (Pasuruan, 2 unit, 2x850 W), Bondowoso (10 unit), Trenggalek (4
unit), Tulungagung (2 unit), Jabung (Malang), Bergas Kidul (Ungaran), Kalongan
dan Karang Sulang (Semarang), Pilang Payung (Grobogan), Karang Mukti (Subang),
Karyamukti dan Lebakwangi (Bandung), Rajagaluh (Majalengka), Parung Banteng dan
Cadassari (Purwakarta), Pasanggrahan (Garut), Purworejo (10 unit), Brebes (10
unit), Pandesari (Malang, Ciherang (Cianjur), Cipendeuy (Bandung Barat),
Agrabinta (Garut).
Buah
Busuk
Banyak
sekali buah dan sayur mayur busuk di pasar tradisional Indonesia yang juga
berpotensi untuk dijadikan biogas dan
menghasilkan listrik.
UGM
bekerjasama dengan pemerintah Swedia mengembangkan teknologi pengelolaan limbah
buah busuk menjadi
pembangkit listrik biogas
di pasar buah Gemah Ripah Gamping, Sleman, DIY. Buah busuk sekitar 4 ton/hari
difermentasi dalam 2 bak cerna (D = 8 m dan t = 8 m) yang menghasilkan listrik
sekitar 548 kWh/hari untuk 500 KK (termasuk penerangan jalan dan pasar Gemah
Ripah) dengan dana 1,6 milyar.
Pemkot
Balikpapan
berencana membangun PLT Biogas di sekitar pasar-pasar tradisional Balikpapan
guna memanfaatkan limbah sayuran dan buah-buahan (sekitar 292-310 ton/hari)
sekaligus memenuhi kebutuhan listrik di pasar selain pemanfaatannya sebagai
kompos. Pilot project dilakukan di Pasar Pandansari
dengan harapan studi kelayakan selesai th 2012. Satu PLT Biogas diduga akan
menelan biaya Rp 800 juta termasuk transmisi dan instalasi pada lapak pedagang
di pasar. Keberhasilan PLT Biogas di Pandansari akan ditularkan ke pasar
Klandasan dan Pasar Induk.
Ampas
Tahu
Di
Indonesia terdapat 84.000 industri tahu yang menghasilkan limbah cair 20 juta
m3/tahun. PTL
BPPT (Pusat Teknologi Lingkungan BPPT) membantu mengolah limbah tsb
menggunakan Fixed Bed Reactor di desa Kalisari dan Cikembulan, Kab.
Banyumas dengan dana Kemenristek. Dari satu m3 limbah menghasilkan 6.500 liter
biogas. Sementara, Biogas juga dapat diperoleh pula dari ampas tahu. Sekitar 2,4
liter larutan
ampas tahu dapat menghasilkan 381,82 liter biogas (via digester).
Limbah
Sawit
PTPN V
Pekanbaru mengembangkan pembangkit listrik dengan memanfaatkan limbah cair (PLT
Biogas) dan limbah padat (PLT Biomassa) tanaman sawit. Th 2011, dari biogas
diperoleh 13,8 MW, dan dari biomassa diperoleh 35,6 MW. Pada th 2012,
ditargetkan 14,8 MW dari biogas dan 38,3 MW dari biomassa. Potensi listrik dari
pemanfaatan tandan buah segar (TBS) adalah 35,6 MW (2011) dan 38,3 MW (2012).
Rumput
laut
Jepang
memanfaatkan rumput laut Ulva
dan Laminaria sebagai penghasil biogas. Rumput laut jenis lain
seperti Padina,
Gracilia, dan Sargassum bila difermentasi anaerob menghasilkan gas methan
19%.
CBM
(Coal Bed Methane)
Potensi:
5 terbesar dunia, 453,3
triliun kaki kubik (TCF) tersebar di 11 cekungan. Th 2011 pemerintah memiliki
23+13+10 kontrak WK CBM. Tahun 2015, diharapkan mencapai 500juta ft3/hari, 1,5
miliar ft3 (th 2020), dan 1,5 miliar (1500 MMSCPD) ft3/hr (th 2025).
Operator
West Sangatta I, Sekayu, Tanjung Enim, Barito Banjar, dan Sanga-sanga
menghasilkan gas setara energi listrik 15,75 MW.
VICO
+ PLN mengoperasikan PLT CBM pertama di Indonesia, di lapangan Mutiara, Kutai
Kartanegara dg investasi sekitar Rp.2 Triliun. Biaya pembangkitannya masih
lebih tinggi dibandingkan dengan PLT rata-rata di Kaltim (Rp850/kWh) yaitu
sekitar Rp1.150/kWh, tetapi masih di bawah solar (Rp2600/kWh).
BATUBARA TERCAIRKAN (Liquefied Coal)
Kilang
batubara tercairkan dengan kapasitas 800.000-1,1juta barrel akan dibangun di
Sumsel oleh PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT
TBBA) yang bernegosiasi (MoU) dengan South Africa's Sasol
Ltd. dengan investasi
US$5,2miliar. Perusahaan itu juga bernegosiasi dengan PT Pertamina dan PT
TBBA dengan dana US$10miliar guna memproduksi batubara tercairkan
sekitar tahun 2015. Tempat kilang lain yang cocok adalah Musi Banyuasin, Sumsel
(2,9 miliar ton batubara), dan Berau, Kaltim (3 miliar ton batubara). Sekitar 30.000 ton
batubara akan menghasilkan 130.000 barrel minyak/hari.
BATUBARA TERGASKAN (Gasified coal)
PLN
melakukan ujicoba batubara tergaskan (syngas, Synthetic natural
gas) sebagai bahan bakar PLTD (konversi BB diesel ke gas) dengan
menggandeng PT Bio Energy Prima Indonesia (via MoU) di PLTD
Sorek 250 kW.
BB
NABATI
PLN
melakukan uji-coba penggunaan BBN
kepada PLTD (diesel) di 4 provinsi, yaitu PLTD Petung
1,5 GW dan PLTD Tanah Grogot 1,5 GW di Kaltim, PLTD Pagatan 1,32 GW
di Kalsel, PLTD Sudirman, PLTD Singkawang 1,6 GW, dan PLTD Sanggau 1,6 GW di
Kalbar, dan PLTD Kuanino di NTT.
Potensi
BBN Indonesia: sangat besar, bervariasi dan tersedia cukup melimpah seperti
kelapa, kelapa sawit, jarak pagar, ubi/singkong, sorghum, tetes tebu, tebu,
aren, nipah, alga, dan rumput laut.
Kapasitas:
Bio-diesel: 2,3 juta kL; bio-ethanol: 192 ribu kL; bio-oil:
37 ribu kL.
BIODIESEL (SNI untuk biodiesel: 04-7182-2006)
Sumber:
minyak kelapa (jelantah, cocodiesel), CPO (minyak Sawit, Limbah CPO), limbah
pabrik minyak goreng sawit, jelantah, Jarak Pagar (jatropha Curcas), Nyamplung
(Calophyllum Inophyllum), Kemiri Sunan, Alga, dan biota laut.
Kebutuhan
solar yang harus diganti oleh biodiesel sekitar 26 juta kL per tahun.
Minyak
Kelapa
Produksi
minyak kelapa Indonesia (tahun
2003) sekitar 1,23 juta ton/tahun, sedangkan permintaan dunia sekitar 3,37
juta ton/tahun. BPPI (Badan
Penelitian dan Pengembangan Industri) Dep. Perindustrian tahun 2005
menguji-cobakan produksi cocodiesel di 3 lokasi, Manado (Sulut), Pameung Peuk
(Garut Selatan, Jabar), Banyuwangi (Jatim). Kelebihan cocodiesel ialah ia dapat
langsung digunakan 100% tanpa campuran solar pada mesin diesel pabrik/industri,
tetapi dicampur 70 % solar pada kendaraan bermotor (B30), karena cocodiesel
pada suhu di bawah 25oC memadat dan dapat menyumbat filter engine dan
mengendap pada injektor. BALITKA (Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain)
Manado menyarankan komposisi baik adalah cocodiesel 20% dan 80 % solar (B20).
Satu
liter biodiesel
kelapa memerlukan 5-10 butir buah kelapa atau 2 kg kelapa. Kalau harga
kelapa Rp.2500,-/kg, maka biaya produksi biodiesel kelapa sekitar Rp.6000,-
Minyak
Sawit
Kebun
sawit sekitar 8,4 juta
Ha. Produksi minyak sawit Indonesia sekitar 24juta
ton/tahun, sedangkan 18juta ton/th diekspor. Sisanya untuk minyak makan dalam
negeri dan sebagian dijadikan biodiesel. Pasar luar negeri menginginkan
biodiesel Indonesia guna memenuhi BB transportasi dan pembangkit listrik
mereka, dan sebagian diubah pula jadi minyak makan. Harga CPO Indonesia
berkisar US$600-700/ton. Pertamina menjualnya dalam bentuk biosolar. Ada 134
SPBU yang menjual biosolar di Jakarta, dan 5 SPBU di Jawa Timur. Hingga saat
ini harga biosolar dalam negeri sekitar Rp 5.500 (subsidi) dan Rp 10.000 (non-subsidi) per
liter.
Wilmar
Nabati Indonesia saat ini memproduksi 5.000 ton biodiesel sawit/hari, 3.000
ton/hari di Gresik dan 2.000 ton/hari di Riau. Produksi itu akan ditambah
masing-masing 1.000 ton/hari mengikuti aturan pemerintah (ESDM No.32/2008)
dengan mewajibkan 2% BBM di sektor industri pertambangan dan batubara secara
bertahap berasal dari nabati paling lambat 1 Juli 2012. Kapasitas pabrik
diperbesar dengan mengglontorkan dana US$1 miliar dalam waktu 5 tahun.
Masih
ada 35
juta Ha lahan terdegradasi yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman sawit,
bukan di lahan primer.
Limbah
pabrik minyak goreng Sawit
Proses
metanolosis
digunakan untuk untuk mengubah limbah pabrik minyak goreng sawit (PFAD, Palm
Fatty Acid Distillate) menjadi biodiesel.
Minyak
Jelantah
Limbah
minyak goreng, jelantah, dapat diolah menjadi biodiesel jelantah, dan dijadikan
bisnis yang menarik. Toniaga
Djie, produsen biodiesel jelantah di Jonggol, Bogor memproduksi sekitar
6.000-9.000 liter biodiesel/hari, memperoleh jelantah dari pengepul seharga Rp
4.250,-/liter, kemudian menjual produk biodiesel seharga 9.000,-/liter dengan
omzet 54-81 juta/hari. Biaya produksi Rp 2.000,-/liter, untung yang diperoleh
sekitar Rp.2.750,-/liter. Proses yang sederhana meliputi penyaringan,
penghilangan warna dan bau, dan esterifikasi hingga menjadi biodiesel
dengan rendemen 70% (seliter jelantah menghasilkan 0,7 liter biodiesel).
Puji
Sudarmaji, Sidoarjo, baru mulai bisnis ini th 2011 sebagai pengepul jelantah ke
pabrik-pabrik biodiesel jelantah. Dia mendapat pasokan dari individu (200-500
kg/bulan) dan perusahaan (5 ton/bulan) dengan harga bervariasi tergantung
kualitas jelantah dari sisi warna dan baunya, kualitas rendah
Rp.3.500,-/kg, kualitas tinggi Rp.7.500,-/kg dengan omzet Rp.17-45juta/bulan.
Sepuluh dari 30
bus TransPakuan,
Bogor, menggunakan biodiesel jelantah (baru 4 ton/bulan dari kebutuhan 12
ton/bulan). Walikota Bogor memaksa pemilik restoran di Bogor menyerahkan
jelantahnya untuk diolah menjadi biodiesel. BPLH Bogor bekerjasama
dengan PT Bumi Energi Equatorial, menerima sumbangan jelantah per
bulan dari rumah makan (warteg dan warung nasi kaki lima) 400 liter, organisasi
gereja 400 liter, Chevron Sukabumi 400 liter, masyarakat 800 liter, dan PT
Carrefour 1.600 liter (dari 42 toko Carrefour se Jabodetabek) untuk diolah
menjadi biodiesel. Hasil samping pengolahan jelantah menjadi biodiesel
berupa gliserol (gliserin) yang masih
dapat dimanfaatkan menjadi sabun batangan
atau sabun
foam untuk cuci piring, atau dilanjutkan menjadi bahan bakar lain
seperti ethanol, butanol dan produk
lain menggunakan bakteri anaerobik.
Penggunaan
biodiesel jelantah telah dilakukan terhadap mobil Isuzu
Panther 2007 dengan jarak 2900 km (Jakarta-Bali PP nonstop) selama 5
hari dengan konsumsi biodiesel sebanyak 245 liter dibandingkan menggunakan
solar murni 266 liter. Sejak th 2010, PTFI (Freeport
Indonesia) menggunakan 5 % biodiesel jelantah atau sekitar 1.200
liter/minggu pada kendaraan perusahaannya.
Jelantah
juga dapat langsung dipakai sebagai bahan bakar kompor. Kompornya sendiri
disebut kompor
nabati yang dibanderol sekitar Rp 275 ribu. Produsennya terus
berupaya, agar harganya lebih murah lagi. Satu liter jelantah mampu untuk
memasak selama 4 jam.
Jarak
pagar
Jarak
pagar dikembangkan untuk membangun industri biofuel nasional, karena harga
biodiesel minyak jarak jauh lebih murah ketimbang biodiesel sawit maupun
bioethanol dari tebu. Hingga saat ini harga crude jatropha oil (CJO)
sangat murah, hanya Rp2.400 per liter. Perlu satu langkah proses lagi menjadi
biodiesel (menggunakan katalis)
yang harga per liternya masih lebih murah sebagai pengganti BBM residu
(nonsubsidi) yang harganya sekitar Rp4.800 per liter.
Di
sisi lain, petani
kurang tertarik menanam jarak pagar, karena biji jarak hanya dipatok
pemesan sebesar Rp.1000,-/kg, sedangkan permintaan petani sekitar Rp.2000,-/kg.
PT Alegria Indonesia bekerjasama dengan KPRI
Budikarti mendorong petani di Pasuruan (Jatim) untuk menanam pohon jarak
dengan harapan biji jarak akan dibeli dengan harga Rp.1200,-/kg.
Saat ini lahan jarak di Pasuruan seluas 1350 Ha dan akan terus dikembangkan
hingga 30.000
Ha. RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) menanami lahannya 2.400
Ha dengan jarak pagar yang hasilnya akan digunakan sendiri. Lahan kritis
Indonesia seluas 77 juta Ha (2008). PT Alegria Indonesia, Juni 2010, menerima LoI
dari Industri otomotif Jepang Mitsubishi, Asahi Sangyo Kaisha, yang
meminta pasokan 100 ribu ton CJO/bulan. Tiga perusahaan Jepang lainnya, Tokyo
Electric Power, Kanshai Electric Power, dan Okinawa Electric Power
juga pesan.
Potensi
jarak pagar NTB; 622.500 Ha.
Produsen
biodiesel: PT Eterindo W (0,24 juta ton/th), PT Sumi Asih (0,1 juta ton/th),
Wilmar Bioenergy (1,1 juta
ton/th), PT Bakrie RB (0,15 juta ton/th), PT Musim Mas (0,3
juta ton/th), Dharmex (0,1 juta ton/th), dan produsen menengah-kecil lainnya
adalah Platinum Serang (20 ribu kL/th), Sweden Bioenergy NTT (350 ribu kL/th),
PT Ganesha Energy (4 ribu ton/th), PT Energi AI, PT Indo Biofuels Energy (200
ribu kL/th), BPPT, Lemigas, RAP, dan beberapa BUMN (Pertamina, PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) I, II, III (6.000 ton/th), IV (2.400 ton/th), V,
VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII, XIV, dan RNI).
Kompor
biji jarak pagar (UB-16),
hasil rekayasa kompor minyak tanah telah sukses dipopulerkan oleh Eko
W sekaligus membantu usaha para pengrajin kompor. Kompor
tsb disempurnakan lagi (UB-16S)
agar mampu mengakomodasi bji-bijian dan bahan nabati lainnya.
Nyamplung
(biodiesel / biokerosin / biofuel)
Nyamplung
(Calophyllum
Inophyllum) yang disebut juga bintangur
sebagai BBN lebih unggul
ketimbang jarak pagar, rendemennya 2 kali lebih banyak (74%),
kualitas
lebih bagus, budidaya lebih mudah, produktivitas lebih tinggi (nyamplung: 20
ton/Ha; jarakpagar: 5 ton/Ha).
DME
Sumber Makmur Desa
Buluagung, Kec. Silir Agung, Banyuwangi, provinsi Jawa Timur memproduksi 250
liter/hari biodiesel nyamplung dari 1 ton nyamplung. Untuk setiap 100 liter
biodiesel itu diperlukan 70 liter metanol. CV
Cahaya Khatulistiwa memproduksi awal 1000 liter biodiesel nyamplung pada
tahun 2012 dengan harga Rp 8500-9000/liter.
Minyak
nyamplung juga baik digunakan sebagai biokerosin (pengganti
minyak tanah, tetapi daya kapilernya lebih rendah, sehingga perlu sumbu kompor
lebih pendek). Kualitas
biodiesel nyamplung sesuai dengan SNI
02-7182-2006 dengan rendemen konversi FFA menjadi metil ester 97,8%, dan
biodiesel nyamplung dapat digunakan langsung pada kendaraan bermotor (B100) tanpa
campuran solar. Sebaran nyamplung di seluruh pantai Indonesia sekitar 480
ribu Ha, dan 60% nya di kawasan hutan. Kementerian Kehutanan menyediakan 3
juta bibit untuk ditanam di pesisir pantai seluas 3.000 Ha, salah satunya
ditanam di pesisir pantai Cilacap seluas 350 Ha pada tahun 2007. Pilot
project penanaman 10 juta biji
nyamplung di areal 10 ribu Ha dilakukan di Madura pada tahun 2009 dengan
harapan tahun 2012 sudah berproduksi, dan target 70 ribu kiloliter biodiesel
nyamplung pada tahun 2025 dapat tercapai. Perusahaan
yang mengembangkan biji nyamplung adalah PT Tracon Industry dan PT
Nabati Sumber Energi.
Biosolar
nyamplung sudah digunakan sebagai bahan bakar bis,
mobil pribadi, dan traktor. Perusahaan Grup Salim memohon izin HTI nyamplung di
Sulawesi. Pemerintah Belanda juga tertarik untuk mengembangkan biosolar
nyamplung.
C.
Jonathan, H. Tjokrobudiyanto, dan A. Gunawan mengusung rancangan pabrik PT
Calofuel Indo Persada berupa biji nyamplung sebagai bahan energi terbarukan
dalam Lomba Rancang Pabrik Tingkat Nasional (LRPTN) XII di ITB tahun 2011.
Proses olah biji nyamplung menjadi biodiesel disebut proses Saka-Dadan
(methanol superkritik) tanpa katalis melalui 2 tahap reaksi, yaitu hidrolisis
dan esterifikasi pada suhu 270 oC dan tekanan 10 MPa selama 20 menit. Proses
hidrolisis trigliserida (minyak nabati) menghasilkan asam lemak bebas,
gliserol, dan air, kemudian setelah penambahan methanol diteruskan ke proses
esterifikasi guna menghasilkan biodiesel berupa metil ester, air dan sisa
methanol. Rancangan mereka memerlukan biji nyamplung 12.489,74 kg/jam dan
methanol 441,48 kg/jam, yang menghasilkan biodiesel 4.186 kg/jam, gliserol
(97,2 % massa) 434,24 kg/jam, resin (untuk industri Farmasi) 807,97 kg/jam.
Biaya investasi + peralatan diperkirakan Rp. 99 + 178 miliar, waktu bangun
pabrik 2 tahun, umur ekonomis pabrik 20 tahun. Harga bahan baku: Rp1.500,-/kg,
Biodiesel Rp 6.500,-/kg, dan gliserol Rp.4000,-/liter. Lokasi pabrik
diperkirakan di kawasan industri Kariangau, Balikpapan Barat, Balikpapan,
Kaltim, dekat sumber bahan baku (21.700 Ha luar hutan + 10.100 Ha dalam hutan)
dan pasar. Satu Ha nyamplung menghasilkan 20 ton biji/tahun dengan kandungan
minyak 40-73%.
Serbuk Biji
nyamplung juga berfungsi sebagai baterai ramah lingkungan dengan
tegangan sedikit lebih rendah, sebagai pengganti baterai komersial di masa
datang.
Kemiri
Sunan (Aleurites / Reutealis Trisperma / candlenut)
(biodiesel)
Kemiri
itu disebut Kemiri Sunan, sebagai penghargaan kepada ponpes Sunan Drajat, Jawa
Timur yang telah mengembangkannya menjadi salah satu bahan pembuatan biodiesel.
Dulu disebut kemiri
cina atau jarak
bandung atau muncang priangan. kementerian ESDM berencana menggandeng lebih dari 20.000 ponpes untuk
menanam kemiri sunan. Komposisi
minyak kemiri sunan terdiri atas asam
palmitat (10%), stearat (9%), oleat (12%), linoleat (19%), dan alpha-elaeostearat
(50%). Rendemen biji kemiri sunan dapat mencapai 50%, diperoleh 88% biodiesel,
12% gliserol menggunakan teknologi esterifikasi maupun transesterifikasi.
Konversi minyak ke biodiesel memerlukan bahan
penunjang seperti air, katalis asam (H2SO4 98%), Katalis basa (NaOH), dan
methanol. Buah kemiri sunan bisa mencapai 50-289 bahkan dapat mencapai 500
kg per pohon per tahun. Minyak kasar kemiri sunan mencapai 10 ton
/Ha/tahun, sedangkan kelapa sawit hanya mencapai 6 ton/Ha/tahun dan jarak pagar
3 ton/Ha/tahun. Tanaman mulai berbuah 5-25 tahun atau lebih cepat dari 5 tahun
bila menggunakan pemuliaan tanaman. Ia dapat dijadikan tanaman konservasi,
termasuk lahan kritis dan lahan bekas
tambang (mis. tambang timah, Bangka, dan tambang batubara), pohonnya
rimbun, sekitar 80.000 helai per pohon dengan akar kuat dan dalam (dapat
mencapai 4 m).
PT
BHL (Bahtera Hijau Lestari) sudah memiliki benih sekitar 600.000 pohon siap
tanam di Sumbawa dan Lombok. Contoh tanaman terawat ada di Bali dan Lombok. PT
BHL siap membeli kemiri sunan Rp500,-/kg dari masyarakat.
Bungkil
Minyak kemiri sunan,
sisa hasil perasan minyak, masih dapat digunakan untuk maksud lain, misalnya
untuk cat, tinta, bahan pengawet, bio-pestisida, vernis, briket, biogas, sabun,
pupuk organik, pakan ternak, pelumas, minyak kain, resin, kulit
sintetis, kampas, lapisan pelindung kawat dan logam, dll. Bungkil itu juga
masih dapat dijadikan biogas.
Dari 3 kg bungkil diperoleh 1,5 m3 biogas, setara dengan 1 liter minyak tanah.
Satu rumah tangga memerlukan 2-3 m3/hari biogas atau sekitar 6-9 kg
bungkil/hari atau 2-3 ton bungkil/tahun atau 6 ton biji kering/tahun atau 15
pohon kemiri sunan.
Biodiesel
kemiri sunan telah diuji oleh di fasilitas
uji PT
Tri Ratna Diesel Indonesia, Gresik, Jawa Timur yang hasilnya setara dengan
solar.
Kementerian
Pertanian menganggarkan Rp.122,13 juta untuk proyek percontohan pengembangan
tanaman kemiri sunan di Garut, Subang, Majalengka, Indramayu, dan Sumedang
dengan total luas lahan 23 Ha.
Alga
(Microalgae, biodiesel, air laut)
Masyarakat
mengenal Alga sebagai
lumut/ganggang yang bersel banyak seperti di kolam ikan atau kolam renang. Alga
yang menghasilkan minyak adalah bersel satu, tak berakar, tak berdaun,
berkhlorofil, terutama yang hidup di laut. Pembiayaan budi-daya alga memang
lebih mahal (teknologi tinggi), tetapi menghasilkan minyak lebih banyak.
Jika faktor kering 50%, maka 5 kg alga basah dapat
menghasilkan 2,5
kg sel alga, dan bila faktor lipida 40%, maka akan diperoleh 1 liter biofuel.
Biofuel alga merupakan B100,
langsung dapat dipakai sebagai bahan bakar tanpa campuran. Spesies
Euchema dan Gracilaria pada lahan 1 Ha menghasilkan 58.700 liter biodiesel/th
(dengan asumsi mengandung minyak 30%), sedangkan kelapa sawit hanya 5.900
liter/th.
Alga
memerlukan nutrisi (pupuk NPK, ZA, dll), gas CO2 (2,88 mt per 1
mt alga), dan matahari. Pengeluaran minyak dari alga menggunakan teknik
pengepresan, ekstraksi dengan bantuan heksana, dan ekstraksi ultrasonik.
PLTU
Suralaya, Banten (PT Indonesia Power) membangun Pilot Plant
Mikro Alga guna memanfaatkan gas buang CO2 untuk mengembang-biakkan alga
sebagai bahan baku biodiesel. 2 gram emisi CO2 menumbuhkan 1 gram alga.
ExxonMobil
membuka pintu kerjasama riset bagi Indonesia. Lemigas melakukan
riset sejak th 1980 yang semula akan memungut CO2 dari blok Natuna, tetapi
berpindah arah ke alga air tawar.
PT
Pengembangan Alga Indonesia (PPAI)
melakukan produksi dan riset pula di Indonesia. ITB membiakkan microalgae
dengan teknik ultrafiltrasi, PT Rekayasa Industri mengembangkan bioreaktor microalgae,
dan Badan Riset Kelautan dan Perikanan mencari spesies microalgae
terbaik guna menghasilkan biofuel yang optimal.
Alga
jenis Gelidium
sp dipilih oleh kerma Indonesia dan Korea Selatan untuk menghasilkan
BBN biodiesel, karena tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. Indonesia sebagai
tempat budidaya gelidium sp dan Korea Selatan (KITECH = Korea Institute
of Industrial Technology) siap menerapkan teknologi biodiesel dengan biaya
produksi 1-2 US$/liter. Budidaya gelidium diupayakan di perairan Lombok
hingga Papua, Maluku seluas 20.000 Ha, dan Belitung 10.000 Ha.
Andansari
merancang pabrik biodiesel dari alga nannochloropsis yang direncanakan
beroperasi semikontinyu 330 hri/th, di Probolinggo, Jatim, kapasitas 20ribu ton
metil ester/th, berbahan baku utama 15.625 kg minyak alga/hr, metanol 8730
kg/hr, NaOH 271 kg/hr, NaOCH3 3634 kg/hr.
Air
laut
Pemprov
Riau memanfaatkan air
laut menjadi biodiesel. Air laut diendapkan dalam bak penampungan, lalu
disuling dengan alat suling berukuran 0,1 mikron (plankton net) yang akan
mendapatkan minyak
sel yang berasal dari biota laut dan terkumpul menjadi biodiesel yang
cocok untuk pompong (kapal nelayan).
BIO-OIL
PLN
mulai menggunakan Bio-oil
(pure plant oil = PPO) dari minyak sawit untuk menyalakan 114
pembangkit listrik skala kecil dan menengah, seperti proyek percontohan di
Lampung (11 MW) dan di Nusa Penida (1,5 MW), Bali. Bahan bakarnya
adalah campuran 80% PPO dan 20% Diesel.
BIOETANOL (SNI: DT 27-00010-2006)
Sepuluh pabrik
etanol siap memproduksi
Gasohol (10% etanol + 90% premium) 2 di Jatim, 1 di Jateng, 1 di DIY, 2 di
Jabar, 3 di Sumatera, 1 di Sulsel.
Singkong/ubi
kayu/Ketela Pohon
KNMI
(Komisi Nasional Masyarakat Indonesia) bekerjasama dengan PT Energi Karya
Madani menemukan pengganti bahan bakar premium yang disebut Biopremium
yang ramah lingkungan dengan bahan dasar
bioethanol (kadar ethanol 96-99 %) yang berasal dari proses fermentasi
singkong. Satu liter etanol perlu 6 kg singkong. Biopremium
(bensin premium + bioethanol 5%) dijual dengan harga minimal Rp.3.400,-/liter. Uji-coba pada
beberapa kendaraan (Kijang super 1995, Avanza, dll.) (Jakarta-Surabaya pp)
dengan variasi bahan bakar premium dan bioetanol (kadar 100%, 75%, 50%)
telah sukses dilakukan.
ICMI Orwil
Jawa Barat mendirikan pabrik bioethanol (90-94%) berbahan baku singkong 1,5
ton/hari di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, yang
pengoperasiannya sejak Maret 2009 dengan kapasitas 200 liter/hari. Harga per
liter bioetanol dipatok Rp.10 ribu dari biaya produksi Rp 7 ribu.
Pabrik
bioetanol di sentra singkong terbesar Indonesia, Lampung, adalah PT Medco
Ethanol
Lampung (180 kL/tahun untuk ekspor), PT Madusari Lampung Indah (50
ML/tahun, dari Singkong+Tebu), PT Indonesia Ethanol Industry (50
ML/tahun).
Sri
Nurhatika (Ika)
Dosen Biologi ITS dan timnya mengenalkan bioetanol dari singkong raksasa/telo
genderuwo/limbah pabrik tepung tapioka beserta kompornya. Kompor aluminium
diproduksi bersama Koperasi Manunggal Sejahtera. Ika + tim mengenalkan
produknya kepada pembatik di Jawa.
Limbah
Biomassa (TKKS)
BPPT
(PTPSE = Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi) dan MHI
(Mitsubishi Heavy Industries Ltd) bekerjasama memanfaatkan TKKS
(potensi sekitar 20 juta ton
basah atau 10 juta ton kering) sebagai bahan baku (lignosellulose
bioetanol) untuk memproduksi bioethanol. Proses dari TKKS menjadi Saccharide
liquid menggunakan teknik hydrothermal dilakukan oleh MHI, kemudian
cairan yang dihasilkan difermentasi dan dijadikan etanol oleh B2TP (Balai Besar
Teknologi Pati).
LIPI
(Kimia Terapan) dan pemerintah Korea Selatan (KOICA,
dengan bantuan KIST dan Changhae Engineering Co.Ltd,) bekerjasama melakukan
penelitian TKKS menjadi bioethanol via
fermentasi. Teknologi yang ditemukan mampu mengolah 80 kg sampah menjadi 10
liter/hari bioethanol dengan tingkat kemurnian 99,5%. Korsel memberikan dana
hibah US$3 juta, dan LIPI memberikan dana pendamping US$ 600 ribu. Stasiun
percontohan Laboratorium Penelitian Energi, Lingkungan dan Bahan Kimia Alami
dibangun di Serpong.
Limbah
Air Kelapa
Hadi
memfermentasi (selama 70 jam) 200 L limbah air kelapa menjadi 90 L bioetanol
70%, sedangkan dari 200 L legen menjadi 110 L bioetanol 70%. Pemanasan untuk
proses penyulingan (sekitar 80-85oC) menggunakan serbuk gergaji.
Limbah
Buah (Salak)
Mahasiswa
UGM
Yogyakarta mengembangkan kompor berbahan bakar bioetanol dari limbah buah salak
yang cacat atau busuk. Dusun Ledoknongko, Kec. Turi, Kab. Sleman, DIY, adalah
sentra penghasil salak dengan limbah salak sekitar 1-3 ton/bulan. Satu liter
bioetanol diperoleh dari 10 kg limbah salak melalui proses fermentasi selama
sepekan dengan menambah ragi dan urea, kemudian cairan yang dihasilkan dikenai
proses distilasi pada temperatur 70oC.
Sorgum
Pengembangan
Sorgum
/ canthel (Jawa) di Indonesia masih belum masuk skala komersial. Desa Legundi
adalah salah satu lokasi DME bioetanol sorgum.
Pabrik bioethanol sorghum yang produk bioethanolnya akan menggantikan
minyak tanah dibangun dengan kapasitas 400 liter/hari yang didukung
penanaman sorghum manis seluas 15 Ha. Masyarakat sekitar mendapatkan kompor
bioetanol 300 unit. Limbah padat perasan batang sorghum dijadikan kompos dan
sebagian untuk pakan ternak.
PT
BLUE (Banyu Lancar Unggul
Engineering) Indonesia membudidayakan 15 varietas bibit unggul Sorghum dari BATAN
di Balikpapan, Kaltim, yang disebarkan ke masyarakat dengan pola inti plasma
yang hasil panennya akan dijamin pembeliannya oleh PT BLUE. Satu liter
bioethanol sorghum memerlukan batang 16-20
kg, atau bila dari biji sorghum perlu 2,5 kg biji (dengan proses kimia yang
lebih panjang).
Brunei
Darussalam bekerjasama dengan Walikota Solo menginvestasikan dana Rp800
miliar guna membangun 2 pabrik raksasa industri olahan shorgum pengganti beras
(satu pabrik memerlukan lahan 30 Ha) di wilayah Soloraya (kantor pusat di
Solo), dan lokasi kabupaten terpilih adalah Wonogiri
dan Sragen. Sekitar 60 ribu petani lokal akan dilibatkan dalam industri
bahan makanan (gandum lokal) dan bioenergi (bioetanol untuk ekspor).
Investor
jepang PT Panen Energi (Syswave
Holding Co.) memperkenalkan bibit sorgum (varietas B6, B8, dan
KOI) di Karang Tengah, Wonogiri yg bisa dipanen 3 bulan sekali, tinggi 2,5-5 m,
yg diharapkan mampu menghasilkan bioetanol 2,000-3,5000 liter/Ha/musim. Kemen
BUMN mengembangkannya untuk konsumsi di Sumbawa, Jember seluas 100 Ha. LIPI
mengembangkannya untuk memproduksi bioetanol di Riau
dengan target 400 ton/Ha/tahun. Th 2014 direncanakan sorgum ditanam di lahan
10,000Ha yang bermitra dengan RPN, PT Samirana,
dan pemda yang berkenan.
PT
Pertamina & PT Askes bekerjasama memproduksi sorgum di Atambua
pada lahan seluas 200 Ha.
Tetes
Tebu/Tebu
Produk
tetes seluruh pabrik gula di Indonesia sekitar 1,4
juta ton/th, digunakan untuk industri bioetanol hanya 600 ton/th, sisanya
diambil industri MSG/moto + industri pakan ternak (600), dan diekspor (200).
Bila konversi tetes 600 ton/th itu ke bioethanol 4:1, maka produksi bioethanol
masih di bawah rencana pemerintah 194 ribu kL. Produsen: PT Molindo Raya
(Jatim) 70 ribu kL/tahun.
PTPN
X (Rp.311milyar) bekerjasama dengan Jepang (NEDO Rp.150milyar)
membangun pabrik bioethanol tetes 30 ML/th di samping pabrik gula Mojokerto
telah diresmikan oleh Men BUMN dan berproduksi.
Semua produk bioetanol diserap
oleh PT Pertamina.
Medco akan
membangun pabrik bioethanol di Papua dengan bahan baku tebu. Tanah seluas
65.000 Ha (dari total 200.000 Ha) telah dialokasikan di Papua Selatan.
PT
Barata
Indonesia (Persero) yg menggandeng Sapporo & Tsukisima Kogyo Jepang
menggarap proyek putar kunci bioetanol (99,6%) kapasitas 100 kL/hari milik PTPN
X yang berlokasi di pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto. Uji-coba akan dilakukan
th 2013. Limbahnya berupa gas metan sebagai umpan diesel gas engine menjadi
listrik 2,5 MW.
Aren
(Arenga Pinnata)
Satu
pohon menghasilkan nira 15-20 liter/hari, diproses menjadi satu liter bioetanol
99,5 %, atau sekitar 36.000-40.000 liter/Ha/tahun
(pohon aren produktif disadap selama 6-8 tahun,
baru dapat disadap setelah berumur 5 tahun). Produksi bioetanol dari aren itu
tertinggi dibandingkan jagung (6.000), singkong (2.000), biji sorgum (4.000),
jerami padi, dan ubi jalar (7.800). Harga bersih bioethanol di pasaran dunia
sekitar 1,15-1,3
US$/galon atau US$40/ton (2009).
Sekitar
60% pohon aren dunia ada di Indonesia (Sulawesi, Maluku, Sumatera, Papua, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Bengkulu, Nangroe Aceh Darussalam, dan daerah lainnya)
dengan perkiraan total luas di 14 propinsi 70.000
Ha. Di Sulut saja ada 2942 Ha
(th 2004), terdapat 300-400 pohon per Ha. Pacitan menyiapkan
areal kebun aren hingga 10.000 Ha guna mengakomodasi 4 juta pohon aren di
daerah aliran sungai (DAS) Girindulu, sekitar kecamatan Bandar, Hawangan,
Tegalombo, Arjosari, dan Tulakan. Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST),
Kalimantan Selatan juga sedang menyiapkan kebun aren seluas 668 Ha.
Pabrik
yang diketahui memproduksi bioetanol dari aren adalah Kreatif Energi Indonesia
dan PT BLUE Indonesia. Investor yang
tertarik: PT Halmahera Engineering. PT Molindo Raya Industrial, Sugar Crop
Company (SGC), PT Tirtamas Majutama. Investor Canada, Amerika, dan Brazil juga
berminat untuk mendanai sekaligus membeli bioetanol aren Indonesia. Dana
sekitar US$ 17 juta diperlukan untuk membangun pabrik bioetanol dengan
kapasitas 500 ton/hari.
Nipah (Nypa Fruticans)
Salah
satu komoditas penghasil bioenergi non-pangan adalah tanaman
nipah yang cukup melimpah di Kalimantan
Barat, dan dapat dijadikan bahan baku pembuatan bioethanol. Kelapa
Nipah tumbuh subur di daerah pasang surut (hutan mangrove/bakau),
rawa-rawa, di pesisir pantai atau muara sungai berair payau. Struktur buah mirip buah kelapa yang dalam satu tandan
dapat mencapai 30-50 butir. Bila buah masak akan gugur ke air, bergerak
mengikuti arus air dan tersangkut di tempat tumbuhnya, dan tumbuh menjadi
kecambah dan pohon baru.
Di
Indonesia, luas daerah tanaman nipah sekitar 10% dari 7 juta Ha daerah
pasang-surut, yaitu 700.000 Ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa
Sulawesi, Maluku, dan Irian jaya. Ribuan Ha nipah juga ditemukan di daerah
pesisir Inhil, Semenanjung Kampar, Bengkalis, Dumai dan
Rohil.
Nipah adalah spesies utama penyusun hutan bakau dengan
komposisi 30%. Panjang tangkai tandan bunga sekitar 100-170 cm yang dapat
disadap untuk diambil niranya. kadar gula
(sucrose) berkisar antara 15-17%, dan setiap tandan bunga menghasilkan 0,5
liter nira per hari selama 4-5 bulan, atau 75 liter
per tahun. Bila jumlah pohon nipah efektif 3000 pohon per Ha, dan 40% saja yang
menghasilkan tandan bunga, maka nira yang dihasilkan adalah 0,4 x 3000 x 75
liter/tahun atau 90.000 L/Ha/Tahun. Sementara nira yang dapat diubah menjadi
etanol sekitar 7% (atau lebih), atau 90.000 x 0,07 sebesar 6300 liter/Ha/tahun
atau sekitar 4,4 juta kL/tahun bioethanol, bahkan diberitakan mampu
menghasilkan ethanol hingga 15.600-20.000
liter/Ha/th yang lebih tinggi 2-3 kali dibanding menggunakan bahan baku tebu (5.000-8.000
liter/Ha/th), sementara jagung hanya menghasilkan 2.000 liter/Ha/th.
Tahun
2011 direncanakan dibangun pabrik bioethanol skala pilot (400 L/hari) dari
bahan baku nipah dengan dana dari Kementrian ESDM (via Dirjen Energi Baru,
Terbarukan dan Konservasi Energi) di lokasi bekas pelabuhan Lantamal TNI AL Kuala
Mempawah, Pontianak, dengan luas pabrik sekitar 520 m2. Tahap awal,
Kementrian ESDM juga akan membantu 150 unit kompor bioethanol untuk dibagikan
ke masyarakat.
Investor
yang tertarik memproduksi bioethanol nipah adalah PT
FFI (First Flower Indonesia). PT FFI dan tim teknis Univ.
Lambung Mangkurat akan melakukan penelitian/kajian pemanfaatan nira nipah
menjadi bioethanol pada th 2012 hingga membangun pabrik pada tahun 2017,
sementara pemkab Tanah Laut (Tala), Kalimantan Selatan, menyediakan lahan tanam
nipah 8.000 Ha di tiga kecamatan, yaitu Bati-bati, Kurau, dan Bumi Makmur. PT FFI menargetkan 200
juta liter/th bioethanol nipah pada lahan 40.000 Ha di Kalimantan Selatan dan
Timur. PT FFI juga melirik kebun nipah di Sulawesi
Selatan.
Rumput
Laut (Macroalgae, bioethanol / biofuel)
Rumput
laut banyak mengandung aneka protein dan selulosa, sehingga
sangat mungkin untuk dibuat bioethanol. Spesies rumput laut terpilih yang
cocok untuk dibuat bioethanol adalah Caulerpa serrulata dan Gracilaria
verrucosa, karena mengandung selulosa tinggi yang dapat dihidrolisis
menjadi glukosa dan difermentasi menjadi bioethanol. Kelebihan
rumput laut: 1) Lahan budidaya di laut yang saat ini dimanfaatkan baru seluas
222.180 Ha, hanya 20% dari 1.110.900 Ha tersedia di perairan Indonesia; 2)
Waktu budidaya hanya 1,5-2
bulan; 3) menyerap gas CO2 7 kali lebih besar dari kayu; 4) Lebih murah,
dapat dipanen 6 kali setahun (100-125
ton/th/Ha). Kebun bibit disediakan di Lampung, DKI jakarta, Banten, Jabar,
Jateng, Jatim, Bali, NTT, NTB, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera, Maluku,
dan Papua.
Norwegia
memanfaatkan rumput laut Laminaria
sebagai penghasil bioethanol.
Alga
(Microalgae, air tawar / payau, bioethanol)
Alga
Spyrogyra
yang berkarbohidrat tinggi telah diteliti oleh mahasiswa ITS Surabaya untuk
mendapatkan bioethanol. Satu liter bioethanol diperoleh dari 6 kg singkong, dan
hanya 0,67 kg dari alga spyrogyra.
LIPI
mengembangkan alga Chlorella
sp. di Pasir putih, Siak Hulu, Kampar untuk bioetanol dan biodiesel.
Jerami
Padi
Produksi
jerami Indonesia sangat besar. Bila 1 ton beras setara dengan 1
ton jerami, dan produksi beras tahun 2011 diperkirakan 37,8
juta ton maka produksi jerami per tahun sekitar 37,8 juta ton. Jerami
mengandung hemiselulosa (27,5%),
selulosa (39%), danosa (39%), dan lignin (12%) yang dapat diubah menjadi
bioethanol via fermentasi. Bila 1 kg jerami menghasilkan 0,2
L bioethanol, maka produk bioethanol Indonesia kira-kira 7,56 juta kL/tahun.
Sementara kebutuhan premium (Jan 2011) tercatat sekitar 22,1
juta kL/tahun, maka sumbangan bioethanol dari jerami terhadap premium sekitar
34,2%.
Sagu
(Metroxylon Sagu Rottb.)
Lahan
sagu Indonesia sekitar 1,2
juta Ha (budidaya 148.000 Ha). Sagu sangat berpotensi sebagai bahan baku
ethanol dengan kadar karbohidrat 82-85%. Dari Satu ton sagu, dapat diperoleh 550
liter bioethanol melalui proses hidrolisis, fermentasi, destilasi, dan
dehidrasi.
Sagu
Meranti (dari
Kepulauan Meranti, Riau, produsen sagu terbesar
di Indonesia 440.309 ton dari
areal 44.657 Ha / 2006, 2,98% luas tanaman sagu nasional) dinobatkan
menjadi pusat pengembangan Sagu nasional. Tepung sagu Meranti dikirim ke
Cirebon 400 ribu ton/bulan guna diolah menjadi penganan dari sagu, bahan
kosmetik, kesehatan, dan lainnya. Pemanfaatan sagu lainnya adalah bahan plastik
alami, sorbitol, sirup, dll.
Maluku
memiliki lahan sagu seluas 31.000 Ha dan 3,1
juta pohon sagu dengan produksi 25 ton/Ha/tahun yang tersebar di 7
kabupaten dengan masa panen 10 tahun setelah ditanam. Produk tepung
sagu basah dari Maluku dikirim ke Cirebon.
Tiga
perusahaan domestik PT National Timber (10 ribu Ha), PT Nusa
Ethanolasia (50 ribu Ha), dan PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ Agri) (50
ribu Ha di Kab. Sorong Selatan, Papua) membangun perkebunan
sagu di Riau dan Papua Barat untuk memenuhi pasokan bahan baku pabrik
bioethanol sagu. ANJ Agri berencana membangun pabrik
pengolahan sagu dengan investasi US$20 juta di Sorong Selatan dengan
kapasitas produksi 3.000 ton sagu/bulan.
PT
Sampoerna Agro Tbk (SGRO) via anak perusahaannya PT Sampoerna
Bio Fuels membeli saham 95% PT National Sago Prima (NSP)
seharga US$12juta guna
menggarap
lahan sagu sekaligus menjadi raja sagu di Indonesia. Proyek pertama
Sampoerna Agro adalah garapan lahan seluas 22.000 Ha di Selat Panjang, Riau
yang telah ditanami sagu seluas 10.000 Ha. Lahan sagu kedua terletak di Papua
seluas 51.000 Ha yang telah ditanami sagu secara alami. Lahan ketiga terletak
di Sambas, Kalimantan Barat seluas 15.000 Ha. Sampoerna masih mengincar lahan
seluas 6.000 Ha di Lingga, Riau. Pembangunan pabrik bioethanol dianggarkan
US$8juta dengan bahan baku 100 ton sagu/hari dan dana replanting (tanam
kembali) sekitar US$5juta. NSP akan membangun
pabrik sagu di distrik Sentani, Kab. Jayapura, Papua.
Saat
ini Indonesia penyumbang 55% sagu dunia (30% berada di Papua), kemudian disusul
oleh Papua Nugini 20%, Malaysia 20%, dan lain-lain 5%.
Karbohidrat
sagu lebih banyak dibanding tanaman lainnya. Satu Ha lahan tapioka menghasilkan
pati 5,5 ton/th, kentang 2,5 ton/th, jagung 5,5 ton/th, beras 6 ton/th, dan
sagu 15-25 ton/th.
Limbah/ampas
sagu dapat dibuat menjadi briket
arang dengan teknik ampas sagu dikeringkan dan dibakar terbatas hingga jadi
serbuk arang, dicampur dengan cairan tapioka sebagi perekat, dan dikeringkan di
bawah sinar matahari. Finlandia
melirik limbah pengolahan tual sagu berupa kulit batang sagu (uyung)
yang dapat dijadikan bahan bakar bioenergi pengganti minyak tanah atau dibuat
pelet pencampur batubara untuk keperluan ekspor ke Eropa. Tim Finlandia
berharap ekspor uyung 10.000
ton/bulan ke Eropa dapat terwujud.
Pemanfaatan
bioethanol berbagai konsentrasi
Bioethanol
80-85%: S. Budi
Sunarto memanfaatkan bioethanol 80-85%
untuk kendaraan bermotor 2 tak, 4 tak, dan genset dengan tambahan alat
pengabut. Di sisi lain, Budi mencampur bioethanol 80% dengan asam stearat
/lilin panas, kemudian didinginkan untuk mendapatkan ethanol
padat yang cocok digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak
tanah.
Bioethanol
40%: Minto
Supeno, Dosen USU, memanfaatkan bioethanol 40% yang dipanaskan untuk
kendaraan bermotor dan mobil disertai penyesuaian karburator dan busi, dan
pemanfaatan teknologi menggunakan oksida logam, bentonit terpilar switching
dan pasir switching. Usaha/penelitiannya untuk mengurangi kadar
bioethanol sebagai bahan bakar sedang berlangsung hingga, bila perlu,
mendapatkan bahan bakar air saja.
Air
+ Bioethanol
Air
dan bioethanol dijadikan bahan bakar sepeda motor hasil
temuan/inovasi FMIPA
Fisika USU Medan. Sistem Penghasil Hidrogen (SiPeDe)
akan diproduksi massal.
.
BIOBUTANOL
Biofuel
dari bahan pangan dikategorikan sebagai biofuel generasi pertama. Biofuel
generasi kedua berasal dari bahan non pangan. Salah satu pilihan adalah biobutanol yang
dapat diperoleh dari bahan non-pangan yang difermentasi (melalui proses A.B.E menggunakan
bakteri clostridium acetobutylicum yang disebut pula organisme Weizmann)
atau non fermentasi, meski biaya proses lebih mahal dari bioethanol. Di lain
pihak, bakteri penyebab diare, Escherichia
Coli, ditemukan mampu menghasilkan n-butanol lebih dari 10 kali lipat
dibandingkan dengan proses biasa.
Kandungan
energi butanol
menyamai premium termasuk sifat fisika dan
kimia mirip bensin dengan
angka oktan 96,
sehingga menjadi pencampur bensin terbaik. Infrastruktur
transportasi baru tidak diperlukan. Biobutanol tidak larut dalam air, tidak menyebabkan
korosi, dan dapat dicampur dengan bensin beraneka variasi. Akan tetapi, hingga
saat ini belum ada
rekomendasi penggunaan biobutanol 100% pada kendaraan bermotor, kecuali
bioethanol 100% (dengan memasang alat tambahan/engine dimodifikasi
yang disebut flexi-car) atau
campuran bioethanol dan bensin di Brazil.
Biomassa,
bagas, jerami, sekam, dan sejenisnya yang amat melimpah di Indonesia dapat
diubah menjadi biobutanol dengan hasil samping gas hidrogen, aceton,
metanol, dll.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit mengubah TKS
(Tandan Kosong Sawit) menjadi 3 produk utama biobutanol, bioethanol, dan aseton
melalui fermentasi mikroba, meski hasilnya masih sangat rendah.
Tiga
mahasiswa Teknik Kimia ITB (A.R.D. Hartanti, D.J. Roria S, L.W. Dianningrum)
merancang pabrik biobutanol
dari (tepung) ubi kayu (Juni 2011) dengan kapasitas 18.102,44 kL/tahun
melalui proses likuefaksi, sakarifikasi, sterilisasi, fermentasi (acidogenesis,
dan solventogenesis), distilasi untuk mendapatkan biobutanol 99,5%. satu liter
biobutanol Rp.14.800,- dapat diproduksi dari 5,8 kg tepung ubi kayu seharga
Rp.2.500,-. Enzim yang diperlukan: glukoamilase (US$9,95/lb), alpha-amilase
(US$14,99/lb), bakteri clostridium acetobutylicum (US$205), dan clostridium
tyrobutyricum (US$255). Produk samping berupa aseton (US$400/ton), gas
CO2 (US$0,0076/L), dan H2 (US$0,16/L).
Tiga
mahasiswa Teknik Kimia ITB lainnya (E. Bratadjaja, M.E. Prasetya, dan Richard)
mengolah dan merancang pabrik pengolahan tongkol
jagung menjadi biobutanol, PT Tiga Perkasa. Karya mereka menjadi finalis
Lomba Rancang Pabrik Tingkat Nasional (LRPTN) XII kategori Energi di kampus ITB
tahun 2011. Pabrik rancangan mereka membutuhkan 1,2 juta ton tongkol
jagung/tahun, sedangkan produksi nasional sekitar 12,5 juta ton tongkol
jagung/tahun. Mereka menggunakan teknologi thermochemical, yaitu proses
gasifikasi tongkol jagung menjadi syngas, kemudian dikonversikan menjadi
alkohol melalui reaksi Fischer-Tropsch. Tongkol jagung dikeringkan
(kadar air 5%), dipotong-potong (cone crusher), diolah menjadi syngas
(gasifier) yang dibersihkan dari pasir olivine dan char (via cyclone),
tar diubah menjadi syngas (tar reformer, reaktor berkatalis), water
scrubber, dan MEA absorber menyingkirkan gas CO dan Hidrogen. Syngas
yang sudah bersih diumpankan ke reaktor sintesis alkohol (fixed bed reactor dengan
katalis Cu+Mn+Ni/ZrO2). Produk berupa campuran alkohol cair (+sisa syngas
dan alkana lain) yang dipisahkan dalam flash drum, kemudian cairan dalam
flash drum didistilasi menggunakan dua kolom. Kolom I menghasilkan
metanol (96,85 %, 32,28 ton/jam) dan butanol dengan kemurnian tinggi (99,99 %
mol, sekitar 16,5 ton/jam), kolom II menghasilkan campuran etanol (48,66 %mol)
, propanol (24,55 %mol), dan air (20,5 %mol, 7,55 ton/jam).
Nilai
ekonomi: Tongkol Jagung: Rp.800,-/kg, metanol Rp2.000,-/kg, biobutanol
Rp.8,800,-/kg. Limbah padat berupa pasir olivine, partikulat, dan char
digunakan sebagai landfill; abu sisa pembakaran diubah menjadi batako;
katalis jenuh diregenerasi. Limbah cair berupa senyawa organik dan sulfur
diolah di WWT, sedangkan gas CO2 menuju sistem flare dibuang. Limbah gas
lainnya berupa NH3, H2S dikirim ke sistem scrubber dan absorber.
Total investasi diduga Rp800 miliar dengan kapasitas produksi 120 ribu
ton/tahun (300 hari/tahun), dengan ROI 19,2%; RR 28,23%,; Payback Period
3,5 tahun; dan BEP 12%. Lokasi yang disarankan adalah di Bojonegoro, Jawa
Timur yang diharapkan dekat dengan bahan baku dan utilitas.
SURYA
Potensi
PLTS Indonesia sangat besar, di atas 1
TW. Indonesia adalah negara dengan serapan tenaga surya
terbesar di ASEAN, karena matahari disajikan setiap hari sepanjang tahun.
Intensitas radiasi rata-rata 4,8 kWh/m2/hari,
NTB dan Papua tertinggi 5,7 kWh/m2/hari dan Bogor terendah 2,56 kWh/m2/hari.
Kapasitas terpasang: 12.1 MW.
Kemen
ESDM membangun 1 unit PLTS (25 kW) di desa Wargasara,
kec. Tirtayasa, Kab.Serang, Banten untuk 320 KK. Unit ini menambah 2 PLTS (15
kW) yg sudah ada di desa Pulo Panjang, kec. Pulo Ampel.
PT
PLN mengalokasikan kepada Pemkab Nunukan,
Kalimantan sebanyak 400 PLTS pada Mei 2012 yang seluruhnya akan
menjadi 3000 PLTS. Si penerima PLTS akan otomatis menjadi pelanggan PLN.
PT
PLN mengoperasikan PLTS 600 kW di Morotai, Maluku Utara, dan penghematan BBM
sekitar 2,5 miliar/tahun. Sebelumnya PLTS 350 kW dioperasikan di P. Sebatik,
Kaltim, berbatasan dengan Malaysia, dan PLTS Miangas 100 kW, Sulsel, berbatasan
dengan Filipina.
Untuk
memenuhi kebutuhan PLTS di Indonesia, tahun 2011 pemerintah membangun pabrik
PLTS di Indonesia, dan PT LEN
Industri (Persero) ditunjuk untuk mengelolanya dengan kapasitas produksi
pabrik fotovoltaik 50
MW per tahun menggunakan teknologi Thin film. Kemampuan pabrik akan
ditingkatkan 10 MW/tahun hingga 90 MW. Pabrik ini akan menelan investasi US$
125 juta atau sekitar Rp,1,25 triliun guna mengalihkan ketergantungan produk
sel surya yang selama ini diimpor. Pabrik yang berlokasi di Karawang Barat, Kab.
Karawang, Jabar, dibangun di lahan bekas pabrik tekstil ISN seluas 28 Ha.
Tahun
2011, PT Surya Energi Indotama,
anak perusahaan PT LEN Industri (Persero), membangun PLTS 100 kWp untuk PLN di
Banda Naira yang terhubung ke jaringan listrik nasional. Di samping itu, PLTS
200 kWp di Gili, P. Trawangan, 80 kWp di Tual, P. Dullah Laut, dan 6 PLTS di 6
desa di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara atas biaya PT Antam Tbk Rp.1,4
miliar yang berkapasitas masing-masing 0,5 kW juga sukses dibangun.
Tahun
2011, PLN sedang membidik pulau-pulau kecil di kawasan Indonesia Timur (KIT)
guna membangun 100
PLTS 22 MW dengan dukungan pendanaan dari Bank Dunia, sedangkan pada
tahun 2013, 1000
pulau terpencil diharapkan sudah dapat dialiri listrik dari PLTS dengan
pola sistem
listrik kepulauan.
Saat
ini PLN sedang membangun 6 PLTS di KIT, yaitu di Derawan, Bunaken, Raja Ampat,
Wakatobi, Banda, dan Trawangan.
Februari
2011, PLTS Bunaken
telah diresmikan oleh Gubernur Sulut dan Direktur PLN agar beroperasi 24 jam
yang dibangun di atas tanah 7 HA dan menghasilkan listrik hingga 400 kW. Mesin
utama berasal dari Australia, baterai dari Jerman, dan panel-panel surya dari
China. PLTS ini mampu menyediakan listrik seluruh perumahan penduduk dan sarana
lainnya.
PT
PLN bekerjasama dengan PT Surya
Energi Indotama (anak perusahaan PT LEN Industri (Persero) membangun PLTS
di Pulau Miangas 85 kW Sulut
dan Pulau Sebatik 340 kW Kaltim dengan dana Rp.16,5 miliar yang berasal dari
APLN (bagian dari proyek PLTS 100 pulau) dan akan beroperasi Agustus
2011.
Sementara,
Marampit,
Kabupaten Talaud, dan pulau Makalehi di Sitaro menunggu giliran. Target PLN
lainnya adalah Manado
Tua, Nain, Mantehage, Talisa, Dapalan, Karatung, Nanedakele, Biaro, dan
Gangga.
Tahun
2011, Pemprov Jawa Tengah menargetkan pembangunan 213
PLTS di Wonogiri, Sragen, dan Boyolali.
Pemerintah
Jepang membantu warga desa Labuan Sangor, Maronge, Sumbawa, NTT dengan
memberikan 2 alat penjernih air tenaga surya (buatan Torey
International) sebagai sumbangan dari PT Bio Greenland (BGL),
investor tanaman jarak rambutan asal Jepang.
Samsung C&T
Co. Korsel meneken MoU tgl 18 Mei 2011 dengan pemerintah Indonesia (yang
akan melibatkan PLN dan perusahaan lokal) untuk mengembangkan PLTS berdaya
sekitar 50 MW di Madura/Bali. Samsung berpengalaman membangun PLTS di Australia
dan Kazachstan.
Dinas
Pertambangan dan Energi Sumut telah menyelesaikan 250 PLTS, di antaranya 85
unit di Desa Satahi Nuli, Kec. Kolang, Kab. Tapanuli Tengah, 85 unit di Desa
Parausorat Sitabotabo, Kec. Saipar Dolok Hole, Kab. Tapanuli Selatan, dan 80
unit di Desa Napa Gadung Laut, Kec. Padang Bolak, Kab. Padang Lawas Utara.
Pembangunan itu menelan biaya sekitar Rp.1,8 miliar.
PLTS
tahap I di NTB menerangi
1.000 KK di lokasi: Longseran Barat Utara (Lombar), Poan Selatan (Lombar),
Sintung Barat (Lomteng), Kembang Sri Utara (Lomtim), Barang Panas (Lomtim),
Sukatani (Lomtim), Limbungan Barat (Lomtim), Sempol (Lomtim), Lembah Bedak
(Lomut), Temuan Sari (Lomut). PLTS tahap II di NTB akan menerangi 700 KK di
lokasi Kab. Bima, Dompu, Sumbawa, Sumbawa Barat.
Pemprov
NTB menganggarkan dana dari APBD untuk pembangunan 110 unit PLTS th 2012 di
kab. Lombok Timur dan Bima. Th 2011, dana APBD telah dialokasikan untuk 494
unit PLTS berskala kecil 10-55 Wattpeak untuk 20 rumah dengan aki penympan 200
A yang harganya berkisar antara Rp3.5-6juta per unit di 4 kab, yaitu Bima,
Lomtim, Lombar, dan Lomteng. Selama ini, 5.785 unit PLTS sudah dibangun di 7
kab. di NTB, terbanyak di Pulau Lombok.
PLTS
Pulaupisang
20 MWh (untuk 263 rumah+40 fasilitas umum, APBNP Rp.5,5 miliar, bantuan
KKP), kec. Pesisir Utara, Lampung Barat, diresmikan Maret 2012.Biaya
Op&Rawat sekitar Rp.30-50 ribu per rumah. Warga dilatih agar dapat
mengoperasikannya.
Perekayasa
ITS
Surabaya menggunakan PLTS di kapal motor sebagai wisata sungai.
Mahasiswa
Teknik Fisika ITB menggunakan ekstrak
ketan hitam sebagai sel surya organik pengganti silikon sintetik yang mampu
menghasilkan arus listrik sekitar 1,9 mA. Penelitian tentang dye-sensitezed
solar cell (DSSC) masih terus dilanjutkan.
PT
Angkasa Pura I bekerjasama
dengan Sintesa Group dan SunEdison membangun PLTS di Empat
bandara Internasional (akhir 2014) (Ngurah Rai/Bali 15MW, Djuanda/Surabaya,
Sepinggan/Balikpapan, dan Hasanudin/Makassar) dengan biaya US$45juta
(Rp450miliar) untuk daya total 50 MW.
Tim
Sapu
Angin Surya Indonesia ikut berlaga dalam lomba mobil surya sepanjang 3000
km (Darwin-Adelaide) di Australia.
ANGIN
/ BAYU
Potensi
energi: 9,3 GW. Kapasitas terpasang: 1,1 MW.
PT PLN
(Persero) membangun PLTB 5x200 kW di Waingapu (sepanjang pantai) dan di Soe (di
atas bukit) Timor Tengah, Flores, NTT dengan skema IPP (Independent Power
Producer, listrik swasta). Beberapa PLTB sudah ada di P. Rote dengan daya
2x10 kW yang dilaksanakan oleh BPPT, dioperasikan oleh PLN.
PLTB
berkapasitas 10 MW dibangun di Desa Suak Bakong, Kecamatan Kluet
Selatan, Kabupaten Aceh Selatan di lahan 75 HA yang berada di tepi pantai.
PLTB dengan jumlah tower 200 unit rampung tahun 2011 untuk memenuhi kebutuhan
10.000 KK yang mencakup seluruh kebupaten Aceh Selatan.
PT
Viron Energy yang
menggandeng perusahaan Suzlon, India membangun PLTB Taman
jaya Ciemas di Sukabumi, Jawa Barat dengan kapasitas 5 x 2 MW yang
beroperasi th 2013 dan menghabiskan dana US$14juta. Secara bertahap
kapasitasnya akan dinaikkan hingga 100 MW selama 5 tahun ke depan.
Jembatan
Suramadu
bakal
dilengkapi PLTB sepanjang 5,4 km bila laju angin mencapai 3 m/detik. Setiap
lampu membutuhkan daya 500 Watt, 300 Watt dari PLTB, kekurangannya akan dipasok
oleh PLTS.
Kincir angin 77
kW sebanyak 48 buah
dipasang di Pesisir bantul, di pantai Pandansimo, Kec. Srandakan, Kab. Bantul,
Yogyakarta. Listrik dari kincir angin
tersebut dimanfaatkan pabrik pengolahan es balok bagi nelayan untuk mengawetkan
hasil tangkapannya, dan es kristal bagi wisatawan yang berkunjung ke pantai
Pandansimo.
Ditjen
EBTKE meneken MoU dengan UPC Renewables Indonesia Ltd. guna melaksanakan
Studi Kelayakan PLTB
50 MW di Pantai Samas, Kab. Bantul, Prov. DIY. UPC menggandeng PT
Binatek Reka Energi untuk mengembangkan wind farm 50 MW itu di desa
Patehan, Kec. Sanden, yang meliputi 33 turbin angin (1,5 MW/turbin) via PPA
dan listriknya dijual ke PLN (Rp.1.200,-/kWh). Investasi PLTB itu sekitar
US$75-100juta dengan memanfaatkan teknologi terkini, kandungan lokal dan
pekerja lokal. Sementara, pantai Sukabumi
bakal memproduksi 200 MW dengan TKDN masih 35%.
Daerah
lain seperti Sulsel (Sidrat), Madura, dan Bangka Belitung berpotensi untuk
dibangun PLTB selanjutnya.
Potensi
PLTB di NTB cukup memadai dengan laju angin berkisar 3,5-7 m/detik. LAPAN
membuat proyek percontohan PLTB 7 kW (7 unit). Potensi PLTB di P. Lombok 60 kW
(10 unit), dan Sumbawa 40 kW (10 unit).
PLTB
digunakan pula di kapal nelayan di Pelabuhan Ratu, Jabar oleh SKEA
(Sistem Konversi Energi Angin).
Investor
Jepang, Wing
International Co.Ltd., produsen turbin 100-1000 Watt berencana
membangun pabrik turbin angin di Indonesia yang beroperasi April 2012.
PLTH
SBD (Hibrida Surya-Bayu-Diesel)
Target
hingga 2015: 18,115
GWh (BPPT-UNDP). Dana: GEF (Global Environment Facility).
Program
PLT Hibrid SB (Wind Hybrid Power Generation, WHyPGen) dimatangkan di
Kab. Kayong
Utara, menggunakan teknologi kerjasama BPPT-UNDP untuk dibangun di
desa Pelapis, Kep. Karimata, Kalbar. WHyPGen menyasar
8 titik lain di NTT (>50MW), Banten, Yogyakarta (100MW), Jabar (100MW), dan
Bali. Uji-coba teknologi hibrid di Pandansimo juga
telah dilakukan dengan memasang 34 unit menara setinggi 100 m guna menghasilkan
listrik 50 kW yang akan dimasukkan ke jaringan PLN.
Kemenristek
melatih masyarakat Natuna mengelola
PLT hibrid SB.
Teknologi
buatan LAPAN dicoba
di Biak Numfor, Papua.
Mahasiswa
Unand Padang (TE) membuat PLT sistem hibrid PLTB/PLTS dengan
ketinggian 50 m di kawasan Pantai pasir Jambak, Kec. Koto tengah, Kota Padang,
Sumbar yang mampu memberikan listrik 1200 Watt.
BPPT
bekerjasama dengan KNRT, PT PLN (Persero) dan Pemda mengembangkan energi
terbarukan dengan cara menggabungkan 3 pembangkit listrik seperti tenaga surya,
bayu/angin, dan diesel yang disebut PLTH SBD, guna mendapatkan catu daya
listrik yang kontinyu dengan efisiensi yang optimal di pedesaan dan daerah
terpencil. Contoh: PLTH SBD Wini 64
kW, Kec. Insana Utara, Kab. Timor Tengah Utara, NTT dengan
komposisi alat berupa 1) Surya (50 kWp/240 Volt), 2) Bayu (10 kW), 3) Diesel
(150 kVA, cadangan), 4) Baterai 4000 Ah (240 unit, masing-masing 120 unit, 240
V/2000 Ah), dan 5) BDI (Bi-directional inverter) yang memasok
daya listrik kepada 509 KK rata-rata 942 kWh/hari selama 24 jam. PLTH SBD
dikembangkan guna membantu PLTD yang sudah berjalan agar bila terjadi
kekurangan pasokan BBM mendadak, Desa tersebut masih dapat dialiri listrik.
PLTD menjadi sumber energi cadangan saja. Beban dapat dipasok dari genset
maupun inverter secara paralel. Kelebihan daya dari genset dimasukkan ke
baterai BDI yang digunakan untuk menjembatani antara baterai dan sumber
AC. BDI dapat mengisi baterai dari genset (AC-DC converter) maupun
sumber energi terbarukan, yang juga beraksi sebagai DC-AC converter.
PLTS dan PLTB masuk pada sisi DC, sedangkan genset masuk pada sisi AC. Urutan
kerja PLTH SBD adalah:
1)
Kondisi beban rendah: pasok daya berasal dari baterai 100%, modul surya, dan
angin, sementara diesel mati.
2)
Beban di atas 75%: bila baterai mulai kosong, diesel beroperasi, sekaligus
mengisi baterai hingga 70-80% (tergantung setting). Kendali hibrida
berfungsi sebagai charger, tegangan AC dari diesel diubah ke DC untuk
mengisi baterai.
3)
beban puncak: diesel dan inverter beroperasi paralel, bila diesel tak
mampu sampai beban puncak. Jika genset cukup memasok hingga beban puncak, maka inverter
tidak bekerja paralel dengan genset.
Semua
pengaturan dilaksanakan oleh Kendali Hibrida.
NUKLIR
Potensi
energi listrik dari ET di Indonesia sungguh sangat besar, > 8394 GW, yang berasal dari PLTA ~75 GW,
PLTMH ~231 GW, PLTAL >7.000 GW, PLTP ~28,5 GW, Biomassa ~50 GW, PLTS
>1.000 GW, dan PLTBayu ~9,3 GW. Jumlah itu belum termasuk potensi energi
listrik dari BBM, Gas (PLTG), dan Batubara (PLTU). Sementara, kapasitas
pembangkit terpasang di Indonesia (2010)
adalah ~35.4 GW
(Terbarukan 3,2/off-grid + 2,9/on-grid, takterbarukan 3,2/off-grid
+ 26,1/on-grid). Kebutuhan listrik Indonesia mencapai sekitar 36
GW (tahun 2011) dan tahun 2030
diperkirakan sebesar 160
GW dan tahun 2050 sekitar 450-550 GW dengan catatan kebutuhan listrik
meningkat sekitar 9
% per tahun.
Bila
potensi ET yang sangat besar itu serius dikembangkan, maka ET dapat memenuhi
pasokan energi Indonesia yang menyamai bahkan ratusan kali melebihi pasokan
energi yang dibangkitkan oleh PLTN.
Peristiwa
PLTN Fukushima menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia guna mengambil keputusan
politik dalam suasana kontroversi pro dan kontra, sekaligus
memilih generasi PLTN terkini (III/III+). Presiden RI telah memutuskan bahwa
pembangunan PLTN komersial (skala besar) akan menjadi opsi
terakhir untuk pemenuhan energi di Indonesia dengan mendahulukan
sumber energi dari ET. Di sisi lain, Menteri BUMN (DI),
melihat celah bahwa pembangunan PLTN masih dapat dilanjutkan, yaitu dengan
memilih PLTN mini dulu (tahap pertama 200
kW), kemudian dilanjutkan ke tahap kedua yang berdaya 2 MW, agar SDM
Indonesia trampil dan mumpuni di bidang pengoperasian PLTN. PT
PLN siap menjalankan proyek PLTN mini tersebut dan menjadi operator
PLTN utama bila ditugasi pemerintah, di samping terus berkonsentrasi
kepada ET
terutama memaksimalkan pemanfaatan PLTP (+ 6 GW) dan PLTA (+5 GW).
Pengusaha
Rusia
berminat mengembangkan nuklir di Indonesia dengan menawarkan tongkang
PLTN-nya (akademik Lomonosov), yang sesuai dengan kontur kepulauan di
Indonesia. Kelebihan tongkang PLTN (PLTN terapung) adalah dapat
berpindah-pindah, dan limbah nuklirnya dibawa pulang ke Rusia.
Provinsi
Bangka Belitung (Babel)
merencanakan pembangunan PLTN, karena aspek geologi yang baik / lapisan
granit di pulau ini tidak bergerak. BATAN sedang meneliti soal batuan granit di
Babel ini. Lokasi PLTN yang paling tepat adalah di Tanjung Krasak, Premis,
Bangka Selatan, dan Teluk Manggris di Muntok, Bangka Barat. Keduanya berada
sekitar 30 Km dari pantai Barat Sumatera yang mudah disambungkan ke Jawa-Sumatera
grid dan Asean grid ke Singapura dan Malaysia. Bahan Bakar
Nuklir thorium (ditaksir sekitar 23.000
ton) juga ditemukan di Provinsi ini bersama timah, zirkon, dll. Pemprov
Babel menyiapkan lahan sekitar 1.500 Ha. Lahan
850 Ha di Muntok dan 650 Ha di Premis telah disiapkan untuk beberapa PLTN ke
depan. Slovakia,
Jepang, dan Korsel berminat membangun PLTN uranium di Babel.
Pengembangan
PLTN skala kecil menengah (SMR)
di Babel misalnya RGTT200, KLT-40 (Rusia),
mPower
(B&W, AS),
SMART (Korsel), dll. juga amat memungkinkan dilakukan, kendati biaya kWh
SMR lebih mahal dibandingkan reaktor besar. Di samping BATAN,
ITB dan UGM (Fisika Teknik)
juga mengembangkan SMR. PLTN jenis SMR ini
digadang-gadang akan
dibangun di Indonesia dalam waktu dekat, dan PLN siap menjadi operatornya.
Pemerintah
(Menristek) juga melirik
Kalsel sebagai
salah satu calon tapak PLTN masa depan. Pemprov Kaltim juga berminat
mengembangkan PLTN di Kaltim asalkan
kajian menyeluruh dilakukan terlebih dahulu, meski santer kabar bahwa Jepang tidak
akan lagi membangun reaktor nuklir baru, dan akan fokus kepada gas
alam, surya, angin, biomassa, hidro, dan geothermal. Kerjasama
Kaltim dengan pihak swasta Rusia di bidang energi nuklir (juga pertanian dan
kesehatan) sedang dijajagi.
BPPT
menilai pembangunan PLTN sudah dapat dimulai tahun 2020, dan beroperasi
pada tahun 2028, karena dinilai pengembangan EBT saat ini cukup lambat.
SANTRI,
AGEN UTAMA ET DI PEDESAAN
Pondok Pesantren (Ponpes)
dapat dijadikan basis mengubah pola fikir penggunaan energi fosil ke
EBT sekaligus tempat pengembangan EBT. Hal itu sesuai dengan program
rancangan LPLH-SDA
MUI hasil Munas MUI VIII 2010, yaitu pemberdayaan ponpes bagi kelestarian
lingkungan dan sumber daya alam. Di Indonesia terdapat lebih dari 9000 Ponpes
dan jutaan santri. Para santri memiliki posisi sangat strategis di mata
masyarakat, karena pemahaman agama mereka sangat menunjang dan kata-kata mereka
diikuti oleh warga. Oleh karena itu, mereka dapat dijadikan agen utama yang
berpotensi merevolusi kondisi penggunaan EBT saat menyosialisasikan kepandaian
mereka. Langkah awal, para santri perlu
dilatih apa saja tentang EBT dan penerapannya, guna meneruskan hasil
pendidikan mereka ke teman-teman mereka, dan selanjutnya meneruskannya ke
masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Contohnya, Ponpes Nurul
Bayan, Desa Cihampelas, Kec. Cililin, Kab. Bandung, memanfaatkan biobriket
dari enceng gondok, sedangkan ponpes Bina
Insani, Ketapang, Susukan, Semarang memanfaatkan sampah di sekitar ponpes.
Panti
Asuhan Yatim Muhammadiyah (PAYM)
Bojonegoro, Jawa Timur, dan ponpes Al-Amin,
Desa Bojong gede, Kabupaten Bogor, Jabar, memanfaatkan biogas dari limbah sapi.
Ponpes Darul
Qur'an, (400 santri) di Kabupaten Gunung Kidul,
dan ponpes Al
Hikmah (700 santri), Kab. Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta,
menggunakan biogas dari limbah santri/manusia.
Ponpes Riyadlul
Ulum (2500 santri), Condong, Cibeureum, Tasikmalaya seluas 5
Ha, memanfaatkan tinja santri, sampah sisa makanan, serasah halaman, dan biomassa
lainnya di sekitar pesantren yang berencana mendapatkan 125 m3 biogas per hari.
Saat ini, karena keterbatasan dana, peralatan yang ada hanya berupa Bak Cerna
BD 3000L berkapasitas 3000 liter/hari dengan fermentor anaerobik bakteri
metagenesis GP-7, dan gas methan yang dihasilkan dimurnikan menggunakan methane
purifier 12135 sehingga mendapat gas methan (> 70%) sekitar 4,6 m3/hari.
Listrik dari biogas (~100 %) mampu menggerakkan genset bio elektrik 1 kW secara
ajeg selama 5 jam. Lumpur (slurry) keluaran dari bak cerna digunakan
sebagai pupuk kolam yang menghidupkan jasad renik dan plankton sebagai bahan
makan ikan yang sesuai dengan sanitasi kesehatan.
Ponpes
Suryalaya (50kW)
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Ponpes Roudlotul
Tolibin (174 kW), Wanganaji, Wonosobo, Ponpes Latansa, Parakan
Santri, Lebak (2x50 kW), dan Ponpes Nurussalam
(Bunut Jambul, 30 kW) Tetebatu, Sikur, Kab. Lombok Timur, NTB memanfaatkan
PLTMH.
Ponpes
Al-Hikmah,
kec. Betung, Kabupaten Banyuasin, Sumatera
Selatan, memanfaatkan PLTS untuk menggerakkan Instalasi Air Minum
(sumbangan PT Medco E&P yang bekerjasama dengan Lions Club
Wiesbanden, Jerman, dan METI) guna mencukupi air bersih bagi para
santri.
Ponpes
Sunan Drajat,
Paciran, Lamongan,Jawa Timur memanfaatkan minyak kemiri sunan untuk pembuatan
biodiesel.
Ponpes
Al-Ishlah,
Grujugan, Bondowoso, Jatim via PT Biiznillah Tambang Nusantara (PT BTN) milik
pesantren tsb sepakat (April 2013) menggarap proyek energi terpadu dengan 2
perusahaan dari China (CMEC)
dan Malaysia (BTN Power Sdn Bhd) di kawasan industri seluas 2,000 Ha di
Situbondo. Lahan seluas 11,000
Ha di Maluku juga disiapkan untuk memproduksi minyak sawit.
http://energibarudanterbarukan.blogspot.com/2011/02/kondisi-ebt-saat-ini-di-indonesia.html
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut